Rabu, 10 Mei 2017

Sekitar lebih dari tujuh dekade Republik Indonesia (RI) merdeka, kondisi ekonomi kita belum beranjak membaik. Memang pertumbuhan ekonomi terus menuai tren positif. Namun, apalah artinya bila pertumbuhan tersebut tak diikuti dengan pengurangan angka ketimpangan.

Tren ketimpangan Indonesia masih sangat tinggi dan kronis. Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini kembali mengklaim dengan menyatakan gini ratio menurun patut dipertanyakan. Meski gini ratio menurun, tapi penurunannya sangat tipis dari 0,397 menjadi 0,396 atau sah dikatakan mengalami stagnasi, termasuk trennya. Malahan tren gini ratio ini tak banyak beranjak bergerak dalam beberapa dekade ini.


image: http://blog.unnes.ac.id/arifponco79/wp-content/uploads/sites/519/2015/12/Kesenjangan-Sosial-580x348.jpg

Kejanggalan itu berlanjut lantaran data yang dipakai BPS sebenarnya kurang mereprentasikan keadaan ketimpangan masyarakat sesungguhnya karena yang dipakai acuan adalah data pengeluaran konsumsi per kapita, sehingga kurang menggambarkan ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan.  Di sisi lain sekaya apapaun orang akan punya keterbatasan konsumsi. Sementara diluar negeri berbeda yang justru secara umum dengan metode menginput acuan data pendapatan.

Ancaman ketimpangan masih menganga, hantaman inflasi akan terus menggerus daya beli publik. Lonjakan inflasi masih sangat berpotensi tumbuh, ada sejumlah faktor yang mendasari. 


Tekanan daya beli masyarakat kian terpukul baik dari segi inflasi sisi administered dari sejumlah rentetan kebijakan yang dikeluarkan, seperti kenaikan listrik, penyesuaian tariff BBM, dan sebagainya. Ditambah lagi tekanan inflasi sisi volatile food masih persoalan klasik yakni kegagalan pemerintah menstabilkan harga. Termasuk jelang lebaran tahun ini semoga tak terjadi blunder lagi.

Bahkan, kejanggalan penurunan gini ratio itu diperkuat oleh hasil rilis Credit Suise memberikan catatan merah pada RI. RI dinyakatan meraih predikat negara tertimpang nomor empat dunia dengan persentase 49,3 persen (hanya 1 persen orang terkaya yang menguasai 50 persen kekayaan RI), setelah Rusia diposisi satu (74,5 persen), India (58,4 persen), Thailand (58 persen), dan posisi kelima adalah Brazil (47,9 persen). Juga rilis Bank Dunia 2015, menyebutkan 1 persen penduduk di negara ini menguasai 50,3 persen kepemilikan kekayaan di Indonesia. Artinya, ketimpangan sangat nyata, sumber-sumber kekayaan masih terpusat pada penguasaan pada sebagian kalangan saja dan masih terpusat, di mana sekitar lebih dari 50 persen perekonomian masih terpusat di Jawa hingga per triwulan IV tahun 2016.

Catatan angka pengangguran juga masih terbilang tinggi. Kesempatan kerja kian menyempit akibat dari tren belakangan ini menunjukkan sektor tradable belum tumbuh signifikan ketimbang non tradable. Padahal sektor ini sangat besar pengaruhnya pada penyerapan angkatan kerja yang terus bertambah seiring dengan besaran pasar RI.

Selain hantaman sektor ini semakin terpukul oleh gempuran impor yang terus naik, juga terhambat oleh pola pikir lulusan kita yang berorientasi menjadi pegawai atau pencarai kerja ketimbang pencipta kerja.

Pertumbuhan ekonomi yang digaung-gaungkan memang tumbuh positif. Sayangnya, tak terlalu berpengaruh pada pengurangan angka ketimpangan. Padahal setidaknya pertumbuhan ekonomi dapat berpengaruh pada pengurangan ketimpangan dan kemiskinan.

Paket ekonomi belasan jilid juga belum bertaji. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang masih berada pada kisaran 5 persen selama periode tahun 2015-2016. Meski demikian, era kepemimpinan Jokowi setidaknya cukup memberikan angin segar bagi UMKM. Pasalnya, bunga kredit UMKM yang awalnya sebesar 22 persen telah diturunkan menjadi 12 persen pada tahun 2015 lalu hingga KUR 9 persen. Padahal sebelumnya pemerintah sudah cukup lama tak merevisi bunga kredit yang mencekik tersebut. Maka, semangat seperti ini yang harus terus didorong.

Arah kebijakan strategis dan prioritas kepemimpinan Jokowi adalah tentang pembangunan infrastruktur dalam negeri. Hal ini terlihat dari besarnya porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur dalam APBN 2016 sebesar Rp. 313,5 Triliun yang menjadi anggaran infrastruktur terbesar dalam sejarah RI. Sayangnya, realisasi untuk proyek-proyek tersebut masih jauh dari harapan. Ditambah lagi dengan masalah realisasi pendapatan negara dan hibah hingga akhir Mei 2016 hanya mencapai 27,2 persen dari target awal. Ditambah rekor pada tahun pertama Jokowi menjabat, kualitas realisasi anggaran pendapatan negara adalah sebesar 84,66% atau terendah selama lima tahun terakhir. Inilah yang menyebabkan proyek infrastruktur terkendala pembangunannya.

Jauh panggang dari api, struktur perekonomian RI mendesak patut segera dibenahi. Struktur ekonomi harus berorientasi pada pemerataan pembangunan, penciptaan ruang pelaku ekonomi politik baru, dan lainnya. Bila dibiarkan, isu-isu sosial sangat berbahaya lantaran rentan menimbulkan ancaman simplikasi konflik sosial beserta turunannya.

Berdasarkan beberapa fenomena dan realitas yang ada tersebut, perlu dimunculkan revolusi ekonomi di berbagai bidang. Revolusi ekonomi kali ini setidaknya bermurara pada tiga hal, yaitu revolusi ekonomi yang berdaulat, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Ekonomi yang berdaulat yang ditekankan ialah perekonomian dijalankan sesuai dengan kebutuhan rakyat, tak bergantung pada asing, serta memiliki kekuatan yang berasal dari dalam negeri itu sendiri. Globalisasi memang sudah sulit terhindarkan. Meminimalisasi dan kontrol secara berkala adalah kuncinya. Tak semua lembaga atau perjanjian yang mengandung liberalisasi harus kita ikuti, mengingat posisi daya saing produk dalam negeri belum tentu sudah bisa dibawa bersaing di tataran global.

Setidaknya harus terkandung prinsip-prinsip utama, seperti kedaulatan atas pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam yang berorientasi kepada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, pengelolaan sumber-sumber keuangan baik dari sisi kebijakan moneter yang mensejahterakan rakyat dan sistem fiskal yang tak bergantung pada sumber dana asing, sistem perbankan dan pasar modal yang mendukung sector riil serta  perlindungan atau penguatan kelompok (petani, nelayan, peternak, dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah).

Sementara, ekonomi berkeadilan menekankan prisnsip pada setiap pelaku ekonomi mendapatkan kesempatan yang sama dalam melaksanakan kegiatan ekonomi. Keadilan ekonomi adalah kondisi dimana setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka ketimpangan atau yang sering disebut dengan indeks gini. Prinsip utamanya, antara lain jaminan aksesibilitas (sumber ekonomi, keuangan, pembangunan, hokum, dan lainnya). Nyatanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga saat ini belum bisa dikatakan inklusif.

Sedangkan, ekonomi yang berkelanjutan menekankan konsep revolusi ekonomi yang diharapkan dapat menghasilkan suatu proses perbaikan secara kontinyu, tak hanya dapat dirasakan kenaikannya pada satu waktu lantas selanjutnya kembali menurun. Ekonomi yang berkelanjutan juga dapat dimaknai sebagai integrasi prinsip-prinsip keberlanjutan dalam proses legislasi, perumusan regulasi, formulasi kebijakan, perencanaan tata ruang, dan program pembangunan yang mendukung pemulihan kualitas lingkungan hidup dan stok sumberdaya alam untuk mencegah ancaman terhadap ketakberlanjutan pembangunan.

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka. Pembangunan berkelanjutan juga harus memastikan keseimbangan tiga pilar yang sering disebut triple bottom line yaitu ekonomi, sosial dan linkungan.

Dengan demikian, ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian untuk memberantas ketimpangan yang merjalela ini. Tentu memerlukan sejumlah pihak terkait agar berjalan dengan efektif dan tepat sasaran serta sasaran strategisnya pro pribumi. Beberapa diantaranya memberikan dukungan atau program untuk tiga hal utama dan bisa menjadi turunan, yakni redistribusi asset, redistribusi akses dan akses harapan hidup.


Redistribusi asset menekankan program-program pada upaya mengurangi ketimpangan lahan. Program bisa diberikan berupa reformasi agrarian melalui pembatasan atau pemberian lahan  pada. Sementara, redistribusi akses dan akases harapan hidup lebih menitikberatkan pada upaya mengatasi peingkatan akses kapasitas manusia berbentuk aksesibilitas keuangan dengan bunga rendah, advokasi hukum, akses lembaga ekonomi, akses kualitas kesehatan, dan sebagainya.  Sehingga kebijakan seperti demikian diharapkan akan mendorong penciptaan pengusaha muda atau penciptaan pemain konglomerasi baru mengingat saat ini masih didominasi oleh pemain ekonomi politik lama, peningkatan akses penguatan kapasitas ekonomi semacam pro masyarakat berpenghasilan rendah atau porsi bumi putera, reformasi agraria melalui pemberian atau pembatasan lahan pada bumi putera, sinergitas BUMN, dan sebagainya.


Ditulis oleh Anggawira dan Mahfud Effendi

Terpublikasi Kolom Opini Koran Republika 10 Mei 2017

https://epaper.republika.co.id/main_beta/articleSave/253462/save