Sekitar lebih dari tujuh dekade Republik Indonesia
(RI) merdeka, kondisi ekonomi kita belum beranjak membaik. Memang pertumbuhan
ekonomi terus menuai tren positif. Namun, apalah artinya bila pertumbuhan
tersebut tak diikuti dengan pengurangan angka ketimpangan.
Tren ketimpangan Indonesia masih sangat tinggi
dan kronis. Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini kembali
mengklaim dengan menyatakan gini ratio menurun patut dipertanyakan. Meski gini ratio
menurun, tapi penurunannya sangat tipis dari 0,397 menjadi 0,396 atau sah
dikatakan mengalami stagnasi, termasuk trennya. Malahan tren gini ratio ini tak
banyak beranjak bergerak dalam beberapa dekade ini.
image: http://blog.unnes.ac.id/arifponco79/wp-content/uploads/sites/519/2015/12/Kesenjangan-Sosial-580x348.jpg |
Kejanggalan itu berlanjut lantaran data yang dipakai BPS sebenarnya kurang mereprentasikan keadaan
ketimpangan
masyarakat sesungguhnya karena yang dipakai acuan adalah data pengeluaran konsumsi per kapita,
sehingga kurang menggambarkan ketimpangan pendapatan dan ketimpangan
kekayaan. Di sisi lain sekaya apapaun orang akan punya keterbatasan
konsumsi. Sementara diluar negeri berbeda yang justru secara umum dengan
metode menginput acuan data pendapatan.
Ancaman ketimpangan masih menganga, hantaman
inflasi akan terus menggerus daya beli publik. Lonjakan inflasi masih sangat
berpotensi tumbuh, ada sejumlah faktor yang mendasari.
Tekanan daya beli masyarakat kian terpukul baik dari segi inflasi sisi administered dari sejumlah rentetan kebijakan yang dikeluarkan, seperti kenaikan listrik, penyesuaian tariff BBM, dan sebagainya. Ditambah lagi tekanan inflasi sisi volatile food masih persoalan klasik yakni kegagalan pemerintah menstabilkan harga. Termasuk jelang lebaran tahun ini semoga tak terjadi blunder lagi.
Bahkan,
kejanggalan penurunan gini ratio itu diperkuat oleh hasil rilis Credit Suise memberikan catatan merah
pada RI. RI dinyakatan meraih predikat negara tertimpang nomor empat dunia
dengan persentase 49,3 persen (hanya 1 persen orang terkaya yang menguasai 50
persen kekayaan RI), setelah Rusia diposisi satu (74,5 persen), India (58,4
persen), Thailand (58 persen), dan posisi kelima adalah Brazil (47,9 persen). Juga
rilis Bank Dunia 2015, menyebutkan 1
persen penduduk di negara ini menguasai 50,3 persen kepemilikan kekayaan di
Indonesia. Artinya, ketimpangan sangat nyata, sumber-sumber kekayaan masih
terpusat pada penguasaan pada sebagian kalangan saja dan masih terpusat, di
mana sekitar lebih dari 50 persen perekonomian masih terpusat di Jawa hingga
per triwulan IV tahun 2016.
Catatan angka
pengangguran juga masih terbilang tinggi. Kesempatan kerja kian menyempit
akibat dari tren belakangan ini menunjukkan sektor tradable belum tumbuh signifikan ketimbang non tradable. Padahal sektor ini sangat besar pengaruhnya pada
penyerapan angkatan kerja yang terus bertambah seiring dengan besaran pasar RI.
Selain hantaman sektor
ini semakin terpukul oleh gempuran impor yang terus naik, juga terhambat oleh
pola pikir lulusan kita yang berorientasi menjadi pegawai atau pencarai kerja
ketimbang pencipta kerja.
Pertumbuhan ekonomi yang digaung-gaungkan memang
tumbuh positif. Sayangnya, tak terlalu berpengaruh pada pengurangan angka
ketimpangan. Padahal setidaknya pertumbuhan ekonomi dapat berpengaruh pada
pengurangan ketimpangan dan kemiskinan.
Paket ekonomi belasan jilid juga belum
bertaji. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang masih berada pada
kisaran 5 persen selama periode tahun 2015-2016. Meski demikian, era kepemimpinan
Jokowi setidaknya cukup memberikan angin segar bagi UMKM. Pasalnya, bunga kredit
UMKM yang awalnya sebesar 22 persen telah diturunkan menjadi 12 persen pada
tahun 2015 lalu hingga KUR 9 persen. Padahal sebelumnya pemerintah sudah cukup
lama tak merevisi bunga kredit yang mencekik tersebut. Maka, semangat seperti
ini yang harus terus didorong.
Arah kebijakan strategis dan prioritas
kepemimpinan Jokowi adalah tentang pembangunan infrastruktur dalam negeri. Hal
ini terlihat dari besarnya porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur dalam
APBN 2016 sebesar Rp. 313,5 Triliun yang menjadi anggaran infrastruktur
terbesar dalam sejarah RI. Sayangnya, realisasi untuk proyek-proyek tersebut
masih jauh dari harapan. Ditambah lagi dengan masalah realisasi pendapatan
negara dan hibah hingga akhir Mei 2016 hanya mencapai 27,2 persen dari target
awal. Ditambah rekor pada tahun pertama Jokowi menjabat, kualitas realisasi
anggaran pendapatan negara adalah sebesar 84,66% atau terendah selama lima
tahun terakhir. Inilah yang menyebabkan proyek infrastruktur terkendala
pembangunannya.
Jauh panggang dari api, struktur perekonomian
RI mendesak patut segera dibenahi. Struktur ekonomi harus berorientasi pada
pemerataan pembangunan, penciptaan ruang pelaku ekonomi politik baru, dan
lainnya. Bila dibiarkan, isu-isu sosial sangat berbahaya lantaran rentan
menimbulkan ancaman simplikasi konflik sosial beserta turunannya.
Berdasarkan beberapa fenomena dan realitas
yang ada tersebut, perlu dimunculkan revolusi ekonomi di berbagai bidang.
Revolusi ekonomi kali ini setidaknya bermurara pada tiga hal, yaitu revolusi ekonomi
yang berdaulat, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Ekonomi yang berdaulat yang ditekankan ialah perekonomian
dijalankan sesuai dengan kebutuhan rakyat, tak bergantung pada asing, serta
memiliki kekuatan yang berasal dari dalam negeri itu sendiri. Globalisasi
memang sudah sulit terhindarkan. Meminimalisasi dan kontrol secara berkala
adalah kuncinya. Tak semua lembaga atau perjanjian yang mengandung liberalisasi
harus kita ikuti, mengingat posisi daya saing produk dalam negeri belum tentu
sudah bisa dibawa bersaing di tataran global.
Setidaknya harus terkandung prinsip-prinsip
utama, seperti kedaulatan atas pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam
yang berorientasi kepada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, pengelolaan
sumber-sumber keuangan baik dari sisi kebijakan moneter yang mensejahterakan
rakyat dan sistem fiskal yang tak bergantung pada sumber dana asing, sistem
perbankan dan pasar modal yang mendukung sector riil serta perlindungan atau penguatan kelompok (petani,
nelayan, peternak, dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah).
Sementara, ekonomi berkeadilan menekankan
prisnsip pada setiap pelaku ekonomi mendapatkan kesempatan yang sama dalam
melaksanakan kegiatan ekonomi. Keadilan ekonomi adalah kondisi dimana setiap
kenaikan pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka ketimpangan atau yang
sering disebut dengan indeks gini. Prinsip utamanya, antara lain jaminan
aksesibilitas (sumber ekonomi, keuangan, pembangunan, hokum, dan lainnya). Nyatanya,
pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga saat ini belum bisa dikatakan inklusif.
Sedangkan, ekonomi yang berkelanjutan
menekankan konsep revolusi ekonomi
yang diharapkan dapat menghasilkan suatu proses perbaikan secara kontinyu, tak
hanya dapat dirasakan kenaikannya pada satu waktu lantas selanjutnya kembali
menurun. Ekonomi yang berkelanjutan juga dapat dimaknai sebagai integrasi
prinsip-prinsip keberlanjutan dalam proses legislasi, perumusan regulasi,
formulasi kebijakan, perencanaan tata ruang, dan program pembangunan yang
mendukung pemulihan kualitas lingkungan hidup dan stok sumberdaya alam untuk
mencegah ancaman terhadap ketakberlanjutan pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan
yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka. Pembangunan berkelanjutan juga
harus memastikan keseimbangan tiga pilar yang sering disebut triple bottom line yaitu ekonomi, sosial
dan linkungan.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang patut
menjadi perhatian untuk memberantas ketimpangan yang merjalela ini. Tentu
memerlukan sejumlah pihak terkait agar berjalan dengan efektif dan tepat sasaran
serta sasaran strategisnya pro pribumi. Beberapa diantaranya memberikan
dukungan atau program untuk tiga hal utama dan bisa menjadi turunan, yakni
redistribusi asset, redistribusi akses dan akses harapan hidup.
Redistribusi asset menekankan program-program
pada upaya mengurangi ketimpangan lahan. Program bisa diberikan berupa
reformasi agrarian melalui pembatasan atau pemberian lahan pada. Sementara, redistribusi akses dan
akases harapan hidup lebih menitikberatkan pada upaya mengatasi peingkatan
akses kapasitas manusia berbentuk aksesibilitas keuangan dengan bunga rendah,
advokasi hukum, akses lembaga ekonomi, akses kualitas kesehatan, dan
sebagainya. Sehingga kebijakan seperti
demikian diharapkan akan mendorong penciptaan pengusaha muda atau penciptaan
pemain konglomerasi baru mengingat saat ini masih didominasi oleh pemain
ekonomi politik lama, peningkatan akses penguatan kapasitas ekonomi semacam pro
masyarakat berpenghasilan rendah atau porsi bumi putera, reformasi agraria
melalui pemberian atau pembatasan lahan pada bumi putera, sinergitas BUMN, dan
sebagainya.
Ditulis oleh Anggawira dan Mahfud Effendi
Terpublikasi Kolom Opini Koran Republika 10 Mei 2017
https://epaper.republika.co.id/main_beta/articleSave/253462/save
https://epaper.republika.co.id/main_beta/articleSave/253462/save