Provinsi Jambi merupakan salah
satu produsen unggulan terbesar komoditas karet dan sawit di Indonesia. Namun,
komoditas andalan utama provinsi tersebut hingga kini masih menemui sejumlah
persoalan krusial yang penting untuk diperhatikan dalam perkembangannya,
terutama bagi para petaninya.
Sumbangan PDRB sektor pertanian
pada tahun 2015, bahkan alami penurunan dan tepatnya hanya mencapai 4,21 persen
dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 7,35 persen. Faktor penyebab penurunan
pertumbuhan ekonomi terbesar pada triwulan IV tahun 2015 dengan andil tertinggi
sebesar 0,74 persen dipengaruhi oleh kendornya sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.
Sementara itu, niilai Ekspor
Jambi tahun 2015 sempat anjlok sebesar 33,89 persen setara 2.635,107 juta dolar
ketimbang tahun sebelumnya yang nilai ekspor Jambi berhasil tembus 3.986,83
juta dolar. Salah satu faktor pemicu dalamnya anjlok ekspor diakibatkan oleh
catatan melambatnya pertumbuhan sektor pertanian dan penurunan harga serta
kinerja komoditas.
Kendati demikian, Pemprov Jambi selayaknya
memang sadar untuk terus lakukan perbaikan melalui peremajaan tanaman dan lain
sebagainya lantaran secara mendasar memang hal itu harus disiapkan. Akan
tetapi, upaya pemerintah ini belum bisa mendorong perkembangan jumlah dan
kualitas tanaman hasil komoditas terkait.
Dari ratusan hektar, tercatat luas
tanaman karet yang produktif hanya 15 persen atau rata-rata baru bisa
menghasilkan 750 Kg karet per hektare per tahun. Padahal, idealnya
produktivitas karet Jambi bisa sekitar lebih dari 2 ton per hektare per tahunnya.
Imbas paling terasa terlebih dirasakan oleh petani karet di tingkat perkebunan
rakyat yang produktifitasnya tercatat lebih rendah sebesar, yakni 976 kg/ha
dibanding perkebunan swasta yang bisa mencapai sekitar 1.499 kg/ha dan PBN
sekitar 1.478 kg/ha.
Kondisi ini akhirnya membawa
menjadi keharusan untuk lakukan peremajaan tanaman sebab banyak tanaman karet
tua yang sudah tak produktif lagi. Selain lambatnya antisipasi peremajaan
tanaman baik karet maupun sawit, juga terdapat realitas peremajaan tanaman juga
tak di imbangi penambahan lahan baru menjadikan keadaan akan tetap alami
stagnasi.
Sayangnya, setiap penambahan
lahan selalu menjadi polemik besar lantaran kerap terjadi alih fungsi lahan
yang diwarnai dengan cara instan lewat pembakaran hutan. Hal itu disinyalir
kuat biasanya dilakukan oleh perusahaan yang berkepentingan dengan melobi
pemerintah setempat.
Bila dilihat dari kualitas lingkungan hidup,
jelas hal ini bisa menyebabkan pencemaran ligkungan dan mengganggu kesehatan
sekitar. Sejumlah kebakaran sepanjang tahun 2015 memperlihatkan 33 ribu hektar
lahan yang terbakar menimbulkan kerugian hingga Rp 7 triliun dan ini tak
sebanding dengan nilai rehabilitasi yang ditaksir membeutuhkan dana senilai Rp
44 triliun.
Seharusnya, setiap penambahan
lahan baru itu harus diperhatikan untuk dipetakan lahan mana yang sebenranya layak
diganti dan tidak merusak lingkungan karena menyediakan lahan sawit biasanya dilakukan
pembakaran lahan, itu biasa dilakukan oleh perusahaan yang berkepentingan dengan
melobi pemerintah setempat mengingat di sisi lain bila dilihat dari penerimaan
pendapatan antara karet dan sawit, memang penerimaan sawit lebih besar jika
dibandingkan dengan karet. Sehingga, pengusaha dan pemda sekalipun tergiur
untuk mengembangkan tanaman sawit.
Persoalan keterbatasan pelabuhan
lantaran benar-benar infrastrukturnya tak memadai untuk aktivitas ekspor.
Akibatnya terpaksa ekspor dilakukan melalui pelabuhan luarJambi yang tentunya
ini berimbas pada beban biaya ekonomi tinggi.
Jika ditelusuri kontribusi nilai
ekspor Jambi tahun 2015 turun sebesar 33,89 persen ketimbang tahun 2014, tentu
akan berpengaruh pada pendapatan agregat provinsi Jambi. Ekspor karet Jambi ini
terbatas karena kondisi internal seperti permasalahan dalam lahan pertanian
yang sempit.
Belum lagi, ditambah persoalan
kondisi Persoalan keterbatasan pelabuhan lantaran benar-benar infrastrukturnya
tak memadai untuk aktivitas ekspor. Akibatnya terpaksa ekspor dilakukan melalui
pelabuhan luarJambi yang tentunya ini berimbas pada beban biaya ekonomi tinggi.
Padahal rantai distribusi nilai untuk ekspor komoditas perkebunan juga masih
panjang, sehingga perlu di persingkat.
Oleh sebab itu, fluktuasi harga
keduanya yang kerap tak stabil perlu dijaga kestabilannya melalui pasar lelang
rakyat, resi gudang, hilirisasi pengolahan, dan lainnya untuk tingkat Pemprov. Lebih
dari itu, bisa juga mengajak bilateralisasi dengan Negara produsen komoditi
karet maupun sawit untuk duduk bersama mencari solusi mengendalikan harga
tersebut. Sehingga kualitas dan
harga semakin kompetitif.
Pict:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikHsba7GxMagFaellwMwL3iBBz8ZG7T1kCJJJaO7MVYY5liiWjhNqF_oZUWD2tSMY2s2cSE6-bCD5z1cc9k8KKT131Gvx4rWk4dDCrdfUoxE60z34pwLeans7eIicOCwlix6OPqZkAtOw/s640/kelapa+sawit.jpg
Pict:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikHsba7GxMagFaellwMwL3iBBz8ZG7T1kCJJJaO7MVYY5liiWjhNqF_oZUWD2tSMY2s2cSE6-bCD5z1cc9k8KKT131Gvx4rWk4dDCrdfUoxE60z34pwLeans7eIicOCwlix6OPqZkAtOw/s640/kelapa+sawit.jpg
0 komentar:
Posting Komentar
Yuk, sampaikan komentarmu, Bebas Berkomentar Kok Asalkan TIDAK SARA !