Rabu, 16 November 2016

Komoditas Primadona Provinsi Jambi Mati Suri?

Provinsi Jambi merupakan salah satu produsen unggulan terbesar komoditas karet dan sawit di Indonesia. Namun, komoditas andalan utama provinsi tersebut hingga kini masih menemui sejumlah persoalan krusial yang penting untuk diperhatikan dalam perkembangannya, terutama bagi para petaninya.
Sumbangan PDRB sektor pertanian pada tahun 2015, bahkan alami penurunan dan tepatnya hanya mencapai 4,21 persen dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 7,35 persen. Faktor penyebab penurunan pertumbuhan ekonomi terbesar pada triwulan IV tahun 2015 dengan andil tertinggi sebesar 0,74 persen dipengaruhi oleh kendornya sektor  pertanian, kehutanan  dan perikanan.

Sementara itu, niilai Ekspor Jambi tahun 2015 sempat anjlok sebesar 33,89 persen setara 2.635,107 juta dolar ketimbang tahun sebelumnya yang nilai ekspor Jambi berhasil tembus 3.986,83 juta dolar. Salah satu faktor pemicu dalamnya anjlok ekspor diakibatkan oleh catatan melambatnya pertumbuhan sektor pertanian dan penurunan harga serta kinerja komoditas.

Kendati demikian, Pemprov Jambi selayaknya memang sadar untuk terus lakukan perbaikan melalui peremajaan tanaman dan lain sebagainya lantaran secara mendasar memang hal itu harus disiapkan. Akan tetapi, upaya pemerintah ini belum bisa mendorong perkembangan jumlah dan kualitas tanaman hasil komoditas terkait.

Dari ratusan hektar, tercatat luas tanaman karet yang produktif hanya 15 persen atau rata-rata baru bisa menghasilkan 750 Kg karet per hektare per tahun. Padahal, idealnya produktivitas karet Jambi bisa sekitar lebih dari 2 ton per hektare per tahunnya. Imbas paling terasa terlebih dirasakan oleh petani karet di tingkat perkebunan rakyat yang produktifitasnya tercatat lebih rendah sebesar, yakni 976 kg/ha dibanding perkebunan swasta yang bisa mencapai sekitar 1.499 kg/ha dan PBN sekitar 1.478 kg/ha.

Kondisi ini akhirnya membawa menjadi keharusan untuk lakukan peremajaan tanaman sebab banyak tanaman karet tua yang sudah tak produktif lagi. Selain lambatnya antisipasi peremajaan tanaman baik karet maupun sawit, juga terdapat realitas peremajaan tanaman juga tak di imbangi penambahan lahan baru menjadikan keadaan akan tetap alami stagnasi.

Sayangnya, setiap penambahan lahan selalu menjadi polemik besar lantaran kerap terjadi alih fungsi lahan yang diwarnai dengan cara instan lewat pembakaran hutan. Hal itu disinyalir kuat biasanya dilakukan oleh perusahaan yang berkepentingan dengan melobi pemerintah setempat.

 Bila dilihat dari kualitas lingkungan hidup, jelas hal ini bisa menyebabkan pencemaran ligkungan dan mengganggu kesehatan sekitar. Sejumlah kebakaran sepanjang tahun 2015 memperlihatkan 33 ribu hektar lahan yang terbakar menimbulkan kerugian hingga Rp 7 triliun dan ini tak sebanding dengan nilai rehabilitasi yang ditaksir membeutuhkan dana senilai Rp 44 triliun.

Seharusnya, setiap penambahan lahan baru itu harus diperhatikan untuk dipetakan lahan mana yang sebenranya layak diganti dan tidak merusak lingkungan karena menyediakan lahan sawit biasanya dilakukan pembakaran lahan, itu biasa dilakukan oleh perusahaan yang berkepentingan dengan melobi pemerintah setempat mengingat di sisi lain bila dilihat dari penerimaan pendapatan antara karet dan sawit, memang penerimaan sawit lebih besar jika dibandingkan dengan karet. Sehingga, pengusaha dan pemda sekalipun tergiur untuk mengembangkan tanaman sawit.

Persoalan keterbatasan pelabuhan lantaran benar-benar infrastrukturnya tak memadai untuk aktivitas ekspor. Akibatnya terpaksa ekspor dilakukan melalui pelabuhan luarJambi yang tentunya ini berimbas pada beban biaya ekonomi tinggi.

Jika ditelusuri kontribusi nilai ekspor Jambi tahun 2015 turun sebesar 33,89 persen ketimbang tahun 2014, tentu akan berpengaruh pada pendapatan agregat provinsi Jambi. Ekspor karet Jambi ini terbatas karena kondisi internal seperti permasalahan dalam lahan pertanian yang sempit.

Belum lagi, ditambah persoalan kondisi Persoalan keterbatasan pelabuhan lantaran benar-benar infrastrukturnya tak memadai untuk aktivitas ekspor. Akibatnya terpaksa ekspor dilakukan melalui pelabuhan luarJambi yang tentunya ini berimbas pada beban biaya ekonomi tinggi. Padahal rantai distribusi nilai untuk ekspor komoditas perkebunan juga masih panjang, sehingga perlu di persingkat.

Oleh sebab itu, fluktuasi harga keduanya yang kerap tak stabil perlu dijaga kestabilannya melalui pasar lelang rakyat, resi gudang, hilirisasi pengolahan, dan lainnya untuk tingkat Pemprov. Lebih dari itu, bisa juga mengajak bilateralisasi dengan Negara produsen komoditi karet maupun sawit untuk duduk bersama mencari solusi mengendalikan harga tersebut. Sehingga kualitas dan harga semakin kompetitif.

Pict:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikHsba7GxMagFaellwMwL3iBBz8ZG7T1kCJJJaO7MVYY5liiWjhNqF_oZUWD2tSMY2s2cSE6-bCD5z1cc9k8KKT131Gvx4rWk4dDCrdfUoxE60z34pwLeans7eIicOCwlix6OPqZkAtOw/s640/kelapa+sawit.jpg

0 komentar:

Posting Komentar

Yuk, sampaikan komentarmu, Bebas Berkomentar Kok Asalkan TIDAK SARA !