Amunisi Account Officer
Seorang AO yang termotivasi untuk
sukses akan lebih mudah menjalankan fungsinya sebagai tenaga pemasaran kredit
perbankan yang sarat dengan penolakan, keberatan, pembandingan, risiko, dan
tingkat keluar-masuknya debitor karena take over kredit antarbank yang
cukup tinggi. Ugie Nugroho
BAGIAN kredit di perbankan sangat
tergantung pada keandalan account officer (AO). Siapa sih AO? AO
adalah staf bank yang pekerjaan utamanya adalah di bidang pemasaran dan
penjualan produk kredit perbankan. AO merupakan perantara kepentingan antara
pihak bank dan debitornya.
Bagi bank, mengelola AO bukan hal yang
mudah, apalagi dengan tingkat persaingan yang makin ketat saat ini. AO yang
andal akan menjadi objek pembajakan oleh bank lain.
Kendati demikian, tidak semua AO mampu
menjadi AO yang andal. Keluhan manajemen bank terhadap kualitas AO sepertinya
telah menjadi topik utama di beberapa bank. Mengapa demikian? Karena, kinerja
AO akan tercermin dari kuantitas ataupun kualitas kredit yang disalurkan bank
tersebut.
Banyak bank yang sulit melakukan
ekspansi kredit karena kualitas AO-nya yang tidak mumpuni. Bahkan, sering
terdengar seorang AO kebingungan untuk mulai mencari calon debitor. Dia tidak
tahu apa yang harus dilakukannya atau AO yang lebih banyak di kantor daripada
di luar kantor.
Kesalahan-kesalahan tersebut seharusnya
dapat dihindari bila bank tempatnya bekerja mempunyai mekanisme prosedur
pemasaran kredit yang sistematis dengan fungsi bimbingan dan supervisi atasan
yang berjalan dengan baik.
Untuk mendukung kesuksesan AO menjadi
tenaga pemasaran dan penjualan yang andal, bank sebagai institusi harus membuat
minimal tiga acuan bagi jajaran AO. Satu, peta bisnis dari pasar yang akan
dimasukinya. Dua, “senjata” sehingga mereka mempunyai alat untuk dapat
memenangi persaingan. Tiga,rewards dalam bentuk finansial maupun
nonfinansial bila mereka mampu mencapai atau melampaui target yang telah
ditetapkan.
Pertama, bank harus membuat aturan baku
bahwa AO harus memiliki peta bagi pasar yang akan dimasukinya. AO harus selalu
mengawali kegiatan pemasaran kreditnya dengan membuat suatu business mapping
pada area yang menjadi target kegiatan bisnisnya. Business mapping ini
dimaksudkan untuk memetakan peluang dan pesaing di area yang manjadi target
pasarnya.
Peta peluang berisi minimal informasi
tentang potensi pasar, jumlah usaha, potensi kredit, dan potensi geografis.
Sementara itu, peta pesaing akan memberikan informasi tentang ketersediaan
pesaing, potensi pesaing, penetrasi pesaing, dan lain-lain.
Kedua, bank harus mempersiapkan “senjata”
dan “peluru“ (weapon) sebagai alat yang bisa dipergunakan AO untuk mendukung
kegiatannya sebagai ujung tombak bisnis perbankan di bidang perkreditan.
Yang dimaksudkan di sini adalah AO yang
dibekali dengan kemampuan teknis (skill), seperti territory skill,
marketing skill, selling skill, innovation skill,dan relationship skill, sehingga
mereka dapat menjadi AO andal.
AO juga perlu diberikan pegangan berupa selling
manual script (guidancebagi AO pada saat melakukan penjualan, dari
perkenalan sampai denganclosing); handling objection manual script (menghadapi
penolakan dan komplain); dan cross selling & up selling manual script.
Ketiga, bank harus menerapkan reward
system yang jelas bagi jajaran AO. Yang dimaksudkan di sini adalah tentu
saja termasuk punishment system-nya. Untuk menciptakan tenaga AO, minimal
harus diciptakan motivasi bahwa suatu achievement akan berdampak pada
diperolehnya benefit terukur bagi AO yang berhasil. Sistem penghargaan ini
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penghargaan berupa finansial (bonus dan
insentif) dan penghargaan nonfinansial (kesempatan mengikuti pendidikan dan
jenjang karier).
Ketiga hal tersebut hanya bekal awal
bagi AO untuk memenangi perang persaingan perkreditan yang sangat ketat saat
ini. Kemenangan akan ditentukan di lapangan, artinya AO harus melakukan action
untuk melampaui target yang telah ditetapkan.
Map dan weapon akan
menjadi fondasi bagi AO untuk bersaing di lapangan dan reward harus menjadi
trigger bagi motivasi AO untuk meraih kesuksesan. Seorang AO yang termotivasi
untuk sukses akan lebih mudah menjalankan fungsinya sebagai tenaga pemasaran
kredit perbankan yang sarat dengan penolakan, keberatan, pembandingan, risiko,
dan tingkat keluar-masuknya debitor karena take over kredit antarbank
yang cukup tinggi.
One more thing, tentang peran
supervisi atasan. Keberhasilan AO tidak terlepas dari keandalan mekanisme
supervisi oleh atasan. Business mappingtidak akan bicara apa-apa bila AO
tidak mempunyai komitmen dalam membuatnya. Atasan harus benar-benar mengontrol
anak buahnya sehingga dapat dihindari adanya pembuatan business mapping yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Atasan juga harus melakukan mekanisme continued
learning untuk membekali AO dengan “weapon” yang terkini. Dengan begitu,
AO akan selalu memiliki senjata dan peluru yang mutakhir untuk “berperang”
melawan pesaing-pesaing mereka.
Sukses sebuah bank akan sangat
ditentukan pada keandalan AO sebagai ujung tombak bisnis bank. Teruslah
memintarkan AO, dengan skill,knowledge, dan pegalaman lapangan.
Jangan pernah merasa takut tenaga AO akan dibajak bank lain karena dengan
mekanisme reward yang baik, AO bank Anda akan loyal kepada bank Anda.
(*)
Mencapai Target Kredit
Ekspansi kredit menjadi target dari KPI yang harus dicapai.
Kalau meraih target tersebut akan dapat reward, atau kalau KPI
tercapai akan mempunyai kesempatan promosi (karier meningkat). Ugie
Nugroho
SUATU saat saya ditelepon bekas anak buah saya yang saat ini
menjadi seorang account officer (AO) di salah satu bank. “Pak, bagaimana
ya caranya menjadi AO yang baik?” Ketika saya tanyakan mengapa, dia
menjelaskan bahwa dia kebingungan untuk memulai penjualan, ke mana atau kepada
siapa.
Untuk menjadi seorang tenaga pemasaran yang andal, kita harus memahami
siklus penjualan, yaitu suatu rangkaian kegiatan yang harus diikuti oleh
seorang tenaga pemasaran atau penjualan. Siklus penjualan meliputi beberapa
tahapan, yaitu planning, prospecting, approaching, fact finding, handling
objection and selling, servicing, dan supervising. Pada tulisan
ini kita akan membahas tahap pertama dari siklus penjualan, yaitu planning atau
perencanaan.
Agar sukses meraih target, bahkan melampauinya, kita memerlukan
suatu perencanaan yang baik. Terkait dengan AO bekas anak buah saya tadi, saya
lalu bertanya, “Apakah kamu sudah mempunyai business mapping?” Dia
menjawab, “Ada Pak, tapi itu ‘kan milik kantor cabang.”
Lalu, saya tanya lagi. “Oke, apakah kamu tidak disuruh membuat area
mapping, yaitu suatu area yang menjadi wilayah pemasaran kamu?” Dia tidak
bisa menjawab. Mungkin memang tidak dibuat area mapping.
Dari situasi di atas tergambar jelas bahwa pemimpin unit kerja
tidak memanfaatkan dasar planning dalam penjualan kredit secara
optimal. Mereka mungkin membuat business mapping, tapi tidak
dimanfaatkan untuk berjualan. Bahkan, bukan tidak mungkin, mereka membuatnya
sekadar untuk memenuhi ketentuan. Kesannya sekadar ada dan bukan tidak mungkin
data dalam business mapping tersebut kurang akurat.
Business mapping harus dibuat karena dengan business
mapping tersebut kita akan dapat memetakan bagaimana potensi bisnisnya dan
bagaimana persaingannya. Selanjutnya, seorang pemimpin unit kerja harus membagibusiness
mapping tersebut dalam beberapa area mapping kepada sejumlah AO
yang dimilikinya. Misalnya, kantor cabang tersebut memiliki empat orang AO,
maka peta bisnis yang ada dibagi menjadi empat kotak wilayah. AO A mendapat
jatah wilayah 1, AO B wilayah 2, AO C wilayah 3, dan AO D wilayah 4.
Selain business mapping, langkah perencanaan lain adalah
kita harus menentukan target atau goal. Dalam menentukan target atau goal tersebut,
kita harus menggunakan prinsip SMART. Misalnya, seorang AO diberi target
pada 2013 untuk ekspansi kredit sebesar Rp24 miliar. Pertanyaannya, apakah
target tersebut specific? Belum spesifik karena masih terbuka pertanyaan,
harus ekspansi kredit yang mana?
Untuk memberi gambaran, berikut diuraikan unsur SMART sebagai
basis pembuatan target atau goal ekspansi kredit. Pertama, specific. Kita
harus memperjelas ekspansi kredit bagi si AO tersebut untuk jenis kredit apa
saja? Misalnya, kredit modal kerja (KMK), kredit investasi (KI), bank garansi
(BG), atau yang lain. Buatlah sespesifik mungkin.
Kedua, measurable. Kita harus mempunyai ukuran nilai
atau besaran tertentu sehingga target kita bisa diukur secara jelas. Misalnya,
AO tersebut harus ekspansi kredit dengan komposisi KMK 60% (Rp14,4 miliar) dan
KI 40% (Rp9,6 miliar).
Ketiga, achievable. Kita harus memiliki keyakinan bahwa
target yang ditetapkan dapat kita raih, bahkan kita lampaui. Si AO ditarget
ekspansi Rp24 miliar, maka untuk memberikan guidance strategi
pencapaiannya, target setahun tersebut kita break down menjadi
bulanan, dan hasilnya si AO harus ekspansi kredit sebesar Rp2 miliar per bulan
atau Rp500 juta per minggu. Bila seminggu bekerja lima hari kerja, per hari
harus ekspansi Rp100 juta.
Mungkinkah target ini dapat diraih? Sangat mungkin. Tinggal
bagaimana kita mengombinasikan target ini dengan strategi jualan kita.
Misalnya, dengan target Rp100 juta per hari, si AO dapat membuat strategi
penjualan “one week one kawasan industri”.
Maksudnya, AO cukup menanamkan dalam benaknya bahwa setiap minggu
saya harus masuk kawasan industri untuk berjualan. Ingat, sekali jalan (ke
kawasan industri), AO dapat memperoleh peluang prospek calon debitor yang cukup
banyak.
Keempat, realistic. Dengan target Rp100 juta per hari
dengan dipadu strategi penjualan yang sesuai, seperti menarget kawasan industri
atau sentra industri atau komunitas, dan masih banyak lagi, maka target
tersebut menjadi realistis untuk dapat dicapai.
Kelima, time line. Target yang kita tetapkan harus
mempunyai batasan waktu untuk diraihnya. Dari contoh di atas, cukup jelas bahwa
AO tersebut harus mampu memenuhi targetnya dalam jangka waktu satu tahun. AO
juga dapat kreatif dalam menentukan time line pencapaian target
tersebut, yaitu target akan dicapai dengan batasan empat bulan pertama sudah
harus mencapai 50% dari target, kemudian empat bulan kedua pencapaiannya harus
sudah 80%, dan empat bulan ketiga pencapaiannya 100% atau lebih.
Selanjutnya, kita harus menentukan journey plan untuk
meraih target tersebut, yaitu dengan menentukan strategi apa saja yang harus
kita ambil. Misalnya, kita akan melakukan strategi massive take over dan
suplesi. Kita dapat juga menentukan target nasabah bank mana saja yang akan
kita rebut.
Kita harus pula menentukan taktiknya, yaitu implementasi di
lapangannya harus jelas, misalnya dengan memberikan iming-iming suku bunga
menarik, biaya administrasi bersaing kepada calon debitor yang akan kita ambil
dari bank pesaing.
Dalam journey plan ini, selain strategi dan taktik, kita
harus memerhatikan unsur proses. Follow the process adalah tahapan
yang harus kita jalankan secara konsisten. Kita tidak boleh melakukan penyimpangan-penyimpangan
karena melakukan hal menyimpang dari proses yang seharusnya, akan dapat
merugikan.
Setalah goal ditentukan, kemudian journey plan juga
kita tetapkan, tahapan selanjutnya adalah mengubah kebiasaan atau habits kita.
Ingat goal baru akan menuntut kebiasaan baru.
Pertama-tama kita lihat trigger yang membuat habits kita
harus diubah itu apa. Trigger bagi si AO adalah dia harus ekspansi
kredit sebesar Rp24 miliar. Karena ada trigger tersebut, maka untuk
meraih target, si AO harus melakukan kegiatan atau rutinitas (routine) yang
berbeda. Misalnya, ketika pulang kantor, kalau tahun lalu dia langsung pulang,
sekarang rutinitasnya diubah untuk prospecting terlebih dahulu.
Ujung dari perubahan habits adalah pencapaian atau
bahkan pelampauan target dan tentunya AO akan memperoleh reward atas
prestasinya tersebut. Motivasi akan adanya reward ini perlu
ditumbuhkan sehingga AO merasa selalu termotivasi untuk meraih target dengan
baik.
Setelah goal, journey plan, dan habits, maka
tahapan selanjutnya adalah perlunya memiliki keyakinan (beliefs) bahwa kita
akan dapat meraih target yang telah ditetapkan. Tugas kita dalah menyamakan
pikiran dan perasaan kita. Pikiran kita bilang bisa meraih target tersebut,
tapi perasaan kita ragu-ragu, maka target tidak akan dapat kita raih. Jadi,
samakan pikiran dan perasaan, simple.
Tahap terakhir dari pemahaman planning adalah kita harus
selalu bisa menjawab pertanyaan mengapa atau why. Dari contoh AO di
atas, maka dia harus mampu menjawab “mengapa saya harus meraih target ekspansi
kredit tersebut?” Jawabannya bisa karena ekspansi kredit menjadi target dari key
performance indicator (KPI) saya yang harus dicapai, atau kalau saya meraih
target tersebut saya akan dapat reward, atau kalau KPI tercapai saya
akan mempunyai kesempatan promosi (karier meningkat).
Inti dari keharusan menjawab pertanyaan mengapa (why) ini adalah
untuk mengukur seberapa penting target itu bagi kita. Kalau ternyata target itu
tidak penting-penting sekali bagi kita, maka upaya pencapaian target tersebut
bisa tidak optimal. Bukan tidak mungkin kita akan bilang “Ah, target tidak
penting-penting amat, tidak tercapai juga tidak apa-apa.” (*)
Mendengarkan Fact Finding
Salag satu kunci
sukses penjualan ialah seberapa jauh kita memahami kebutuhan dan keinginan
calon pelanggan atau debitor. Proses fact funding merupakan sarana
bagi account officer untuk mendapatkan debitor yang potensial dan
berkualitas Ugie Nugroho
SEORANG account
officer (AO) akan sukses menjadi seorang tenaga penjualan bila mereka mau
secara konsisten mengikuti tahapan-tahapan proses penjualan (selling cycle).
Salah satu tahapan
krusial dalam proses penjualan adalah tahap fact finding,yaitu tahapan di
mana kita dituntut untuk dapat mengetahui fakta-fakta tentang calon debitor,
baik fakta tentang latar belakang mereka maupun tentang keinginan atau
kebutuhan mereka.
Apa kesalahan yang
sering dilakukan seorang AO ketika melakukan proses penjualan kredit?
Kesalahannya adalah mereka sering lupa melakukan tahapan fact finding tersebut
karena tidak sedikit dari AO yang langsung melakukan tahapan penjualan. Kita
bisa sukses melakukan penjualan apabila kita benar-benar tahu apa sebenarnya
keinginan ataupun kebutuhan calon debitor kita. Kita juga harus benar-benar
tahu profil calon debitor kita seperti apa sehingga apa yang kita tawarkan
benar-benar sesuai dengan kondisi mereka.
Seorang AO juga harus
berhati-hati. Dalam arti, apabila pertemuan mereka dengan calon debitor
merupakan pertemuan pertama, AO harus benar-benar menjaga “kesan pertama”
dengan calon debitor tersebut. First impression penting karena
kegagalan dalam menciptakan first impressionyang baik bisa menghentikan
proses penjualan selanjutnya. Lalu, apa saja yang perlu diperhatikan untuk
menjaga first impression?
Satu, penampilan.
Seorang AO bertindak mewakili institusinya sehingga mereka harus tampil
sebagaimana layaknya seorang profesional ketika berhadapan dengan rekanan
bisnis perusahaannya.
Dua, menjaga komitmen.
Pada setiap janji temu dengan calon debitor, AO tidak boleh melakukan
keterlambatan. Apa pun alasannya, hal itu jelas akan merusak reputasi komitmen kita
di mata calon debitor.
Satu hal lagi yang
harus jadi perhatian AO, ketika kita telah meminta waktu calon debitor 15
menit, maka pada pertemuan tersebut kita harus meminta izin mengakhiri
pertemuan sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan. Bila kemudian calon
debitor meminta agar pertemuan dilanjutkan, kita dapat melanjutkannya. Intinya,
jangan pernah melanggar apa yang telah kita mintakan sebelumnya. Kenapa?
Karena, ketika kita melanggarnya, maka kita dapat dinilai sebagai AO yang
berkomitmen rendah.
Tiga, tahapan fact
finding merupakan tahapan penggalian informasi. Sehingga, tidak benar bila
pada tahapan tersebut seorang AO justru mendominasi pembicaraan dibandingkan
dengan calon debitor yang akan digali informasinya.
Problem Review
Proses fact
finding bukanlah hal yang rumit. Kita bisa menganalogikan dengan kegiatan
first date dalam berpacaran. Pada saat kencan pertama, hal-hal yang biasanya
dilakukan ialah penggalian informasi. Kita akan mencari tahu siapa sebenarnya
calon pasangan kita tersebut, apa pekerjaannya, bagaimana penghasilannya, siapa
keluarganya, apa hobinya, dan lain-lain.
Dalam proses kredit
juga sama. Pada saat fact finding, kita harus tahu terlebih dulu
siapa calon debitor kita tersebut. Baru kemudian kita gali apa keinginan
mereka. Kita harus mengidentifikasi latar belakang calon debitor,
mengidentifikasi kemampuan keuangan calon debitor, mengidentifikasi tujuan dan
kebutuhan kredit calon debitor, mengidentifikasi ketersediaan agunan, serta
informasi lain yang relevan.
Kemudian, kita memasuki
tahapan untuk mengevaluasi permasalahan (problem review) yang mungkin dimiliki
calon debitor. Tahapan problem review tersebut sebagai berikut.
Pertama, want. Kita harus mencari tahu keinginan (want) calon
debitor, terkait dengan kegiatan usahanya dan kemungkinan keperluan adanya
dukungan permodalan dari pihak ketiga. Setelah kita memahami keinginan calon
debitor, kita dapat mengarahkannya menjadi suatu kebutuhan (need) yang
harus segera dipenuhi calon debitor.
Kedua, got. Kita
harus mencari tahu apa saja yang telah diperoleh (got) calon debitor
dari lembaga finansial lain, terkait dengan keinginan mengembangkan usaha yang
dimilikinya tersebut.
Ketiga, shortfall. Setelah
kita memperoleh informasi tentang apa saja fasilitas yang telah diperoleh calon
debitor, kita dapat mengidentifikasi ada tidaknya perbedaan (gap) antara
keinginan (want) dengan apa yang telah diperoleh (got).
Keempat, follow
up. Kita harus mencari informasi tentang langkah tindak lanjut apa yang
direncanakan calon debitor terkait dengan adanya gap antara
keinginannya dengan apa yang telah dia peroleh saat ini.
Kelima, objection. Kita
mengevaluasi lebih lanjut kira-kira kendala apa saja yang mungkin dihadapi
calon debitor bila shortfall tersebut harus mereka penuhi.
Kendala-kendala tersebut, antara lain keterbatasan permodalan, ketersediaan
agunan, dan kemampuan membayar bunga yang terbatas.
Presentasi Penjualan
Setelah proses fact
finding dilakukan, biasanya AO akan segera menindaklanjuti dengan
melakukan presentasi penjualan tentang produk bank yang mungkin sesuai dengan
kebutuhan calon debitor. Yang harus menjadi perhatian AO ialah tetap tidak
boleh mendominasi pembicaraan pada saat melakukan presentasi penjualan. Hal ini
terkait dengan fakta bahwa calon debitor akan cenderung membuat pembatas (barrier) pada
saat kita terlalu mendominasi pembicaraan.
Pada saat kita
menyampaikan fakta-fakta kebenaran ataupun kelebihan produk kita, kita tidak
bisa memaksakan pengakuan fakta itu kepada calon debitor. Kita harus berusaha
bahwa pernyataan kebenaran itu datang dari calon debitor, bukan dari kita
sebagai AO. Semakin kita memaksakan kebenaran tentang kelebihan produk kita,
pada saat yang bersamaan calon debitor akan berusaha untuk melakukan penolakan
akan fakta kebenaran tersebut. Kalau demikian, bagaimana caranya agar calon
debitorlah yang mengungkapkan pernyataan positifnya tentang produk yang kita
tawarkan?
Selain tak boleh
mendominasi pembicaraan untuk memaksakan kehendak bahwa produk kita adalah
baik, kita harus mengalihkan dominasi pembicaraan kepada calon debitor. Kita
dapat menggunakan kalimat-kalimat bertanya yang pada intinya untuk memancing
calon debitor berpendapat, seperti “bagaimana menurut Bapak tentang produk
kami?” atau “apa yang telah Bapak atau Ibu ketahui tentang produk kami?”.
Satu hal lagi yang
harus menjadi perhatian AO, pada saat melakukan fact finding yang
diteruskan dengan presentasi penjualan, AO tidak boleh melupakan penggunaan
pancaindra. Kadang kita mengalami kebuntuan dalam proses komunikasi dengan
calon debitor. Maka, kita bisa menggunakan pandangan kita untuk melakukan
observasi lingkungan, untuk mencari objek yang mungkin bisa kita jadikan bahan
pembicaraan, untuk sementara keluar dari topik penjualan.
Kita juga bisa
menggunakan pendengaran kita untuk mengalihkan pembicaraan bila pada saat
pertemuan tersebut terdengar lagu-lagu tertentu yang mungkin menarik minat
calon debitor. Kita bisa tanyakan, misalnya “oh, Ibu senang dengan lagu-lagu
seperti yang sedang dimainkan di TV itu, ya?”. Atau, kita mencoba menyentuh
benda tertentu di ruangan untuk mengajak calon debitor membahasnya bila
dirasakan adanya kemandekan proses pembicaraan dengan calon debitor.
Berikutnya, seorang AO
juga harus memahami body language dalam komunikasi. Misalnya, calon
debitor sudah mulai mengetuk-ngetukkan jarinya di pegangan kursi, itu tanda
bahwa dia ingin pertemuan segera diakhiri. Sekali lagi, dengarkan calon debitor
kita, amati gesture komunikasi mereka, maka kita akan lebih efektif
untuk sukses dalam melakukan penjualan kepada calon debitor kita. (*)
Penulis
adalah pembicara publik, mantan bankir bank BUMN,
Sumber di kutip penuh dari:
diakses
Januari 2014
http://www.infobanknews.com/2014/06/rahasia-ao-gapai-target-kredit/