Kamis, 25 Februari 2016

Wasekjen DPP PAN, Dipo Ilham meminta DPR dan pemerintah untuk segera melakukan pembahasan RUU pengampunan pajak (tax amnesty). Ia juga menilai, setidaknya tax amnesty layak dijadikan terobosan altenatif dalam mengatasi keterbatasan ruang fiskal yang selama ini menjadi persoalan klasik.

Menurutnya, ada dua hal pertimbangan yang mendasar kenapa pembahasan RUU tax amnesty  mendesak segera diselesaikan, yakni perbaikan stimulus fiskal dan penyusunan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016 yang akan dilakukan.

Pertama, aspek kepentingan perbaikan stimulus fiskal. Dengan selesainya tax amnesty tentu diharapakan akan membantu menambah penerimaan dari sisi pajak yang selama ini nyatanya  masih statis atau selalu meleset dari target yang ditetapkan.

Kedua, aspek kepentingan pembahasan arah APBN-P 2016 yang tak lama lagi akan dibahas. Lantaran, APBN-P memiliki fungsi penting untuk dijadikan pedoman arah pembangunan periode waktu setahun kedepan yang disesuaikan dengan kondisi terkini

“Jangan menunggu lagi revisi UU KPK seperti kemarin. Lagian, polemik panjang revisi UU KPK kan telah ditunda. Jadi, RUU tax amnesty ini kapan dibahas dan masih nunggu apalagi? Sementara itu, banyak yang harus diselesaikan dengan tax amnesty untuk stimulus perekonomian dan APBN-P tahun 2016. Ini jauh lebih penting untuk segera dibahas dan diprioritaskan,” Kata Dipo yang juga merupakan Ketua Umum JAKEC (Jakarta Entrepreneur Club).

Lebih lanjut, ia juga turut mengkhawatirkan dan menyayangkan lambatnya pembahasan RUU tax amnesty. Apabila RUU tax amnesty tak segera diselesaikan, maka akan menganggu atau menghambat aktivitas  perekonomian dan APBN-P tahun 2016. Padahal kondisi perekonomian sekarang ini sedang lesu, untuk itu dukungan stimulus fiskal melalui tax amnesty ini penting agar iklim perekonomian semakin kondusif.

Penulis
Mahfud Effendi.

Terpublikasi, Thursday, 25 February 2016 | 17:16 WIB, http://www.bisnispost.com/news/nasional/2016/02/25/politisi-muda-pan-desak-ruu-tax-amnesty-segera-dibahas


Dari tahun ke tahun kinerja ekspor per Januari 10,5 miliar USD atau merosot hingga 20,72% dalam waktu setahun (BPS, 2015). Total nilai ekspor tahun 2015 untuk level ekspor ke semua Negara ASEAN saja tahun 2015 turun menjadi 27.280,6 juta USD dibandingkan tahun 2014 sebesar 28.876 dan tahun 2013 yang sebesar 30.068,9 juta USD.
 
Lebih parahnya lagi, laju utang terus meningkat besarannya. Berdasarkan data per akhir Januari, tercatat total utang pemerintah bertambah lagi sebesar Rp 3.220,98 triliun. Utang terbesar umumnya berasal dari SBN yang mencapai Rp 2.346,73 triliun dan utang lainnya, seperti utang bilateral maupun multilateral yang mencapai Rp 761,64 triliun.
 
Sumber: Data Kemenkeu, 2015

Hutang terus bertambah tak terlalu dipermasalahkan, asalkan efektifdigunakan untuk pembangunan infrstruktur. Pasalnya, utang tersebut sebagian  dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur.

Pada era perlambatan ekonomi, sebaiknya memang tak usah terlalu sering membawa persoalan  atau bicara efisiensi. Akan tetapi sebaiknya lebih baik bicara efektifitas. Kenapa? aspek pembangunan infrastruktur, terlebih yang sifatnya strategis, maka pola pikir (mindset) seharusnya condong ke efektifitas. Jadi, utang bertambah tak masalah asalkan efektif.

Sedangkan jika berbicara efisiensi, lebih baik di alokasikan ke swasta (korporasi) atau mitra kerjasama lainnya. Dengan demikian, diharapkan akan berdampak baik terhadap produktifitas, mampu menekan biaya, dan tentunya bermanfaat kedepannya. Apabila dipaksa berpikir efisien, maka akan menjadi beban dan kesulitan pembangunan infrastrukturnya. 

Namun nyatanya?

1.             Laju Utang yang semakin bertambah tak sebanding dengan realisasi penyerapannya.
Realisasi penyerapan anggaran sebaiknya terus diperbaiki dan dipastikan pelaksanaannya.

2.             Tingkat suku bunga masih terlalu tinggi, maka bisa lebih progresif lagi
Kebijakan moneter harus semakin progresif mengingat gap bi rate dengan inflasi masih cukup tinggi meski bi rate kini sudah 7%. Ruang pelonggaran ruang moneter semakin terbuka. Turunnya bi rate penting untuk membuat perbaikan ekonomi lebih baik, apalagi efek pelemahan ekonomi seperti sekarang ini, seperti gelombang PHK, merosotnya ekspor, dll. Maka, rakyat butuh stimulus, salah satunya suku bunga rendah.

3.    Terlalu mengandalkan penerbitan instrumen surat utang (obligasi) karena target pajak selalu meleset.
     Pro kontra RUU revisi UU KPK terus berhembus kencang mengemuka di tengah-tengah publik. Terlepas dari itu, seolah banyak yang terlupa betapa pentingnya urgensi RUU lainnya yang sebelumnya berhembus kencang tiba-tiba senyap.

      Seharusnya perlu perbaikan fiskal, salah satu yang terpenting ialah desakan agar RUU tax amnesty segera dibahas (red:jangan ditunda-tunda) agar stimulus fiskal membaik dan hal terpenting ialah untuk pembahasan APBNP 2016 yang akan dibahas sekitar pertengahan tahun 2016. Jika tak segera selesai, maka akan mengganggu rancangan APBNP 2016. Ini merupakan instrumen lain yang mendesak segera diselesaikan !!!



apabila RUU tax amnesty tak segera diselesaikan. Maka, tentu akan menganggu jalannya perekonomian dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016. Sehingga akan MENGHAMBAT perbaikan fiscal dan iklim perekonomian yang kian kondusif.


ISU SEPEKAN


1.       Bi Rate Turun 0.25 bps dari 7.25% menjadi è7%(posisi ini seperti  29 Agustus 2013 sebesar 7%)

Oktober (2015)
November (2015)
Desember (2015)
Januari (2016)
Februari (18/2/16)
7.50%
7.50%
7.50%
7.25%
7%
Inflasi
6.25%
4.89%
3.35%
4.14%
-

Grafik Bi Rate
 
2.       Isu Kebijakan Insentif OJK bagi bank yang menurunkan NIM di kisaran 3%-4% .
Tujuanèagar perbankan Indonesia lebih kompetitif dan suku bunga kredit mampu di tekan karena dinilai sudah terlalu tinggi. Sehingga akhirnya perbankan mampu meningkatkan efisiensinya.

Caranyaè pemberian insentif agar efisien melalui pembatasan NIM bank, seperti insentif kemudahan ekspansi cabang,  dll. Semakin rendah NIM, Maka makin besar insentifnya.

Dasarnyaèspread NIM perbankan Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Negara lainnya.

Komparasi Net Interest Margin (NIM) di Level ASEAN
BRI (Indonesia)
Bank DBS (Singapore)
Kaskornbank (Thailand)
Public Bank (Malaysia)
8.13%
1.68%
3.67%
2.16%.
Sumber: Bloomberg, 2015

3.       Draft RUU JPSK Telah Rampung
Pemerintah, Bank Indonesia (BI)  dan DPR (Komisi XI) dikabarkan telah menyelesaikan isu utama menjadi draft  RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) untuk segera dijadikan UU.

4.       Wacana Bank Indonesia (BI) merubah aturan LTV yang disesuaikan dengan kondisi daerah.

Weekly Report.
PICT:http://www.teropongbisnis.com/wp-content/uploads/2013/07/Bahaya-Hutang-Masyarakat-Modern-Sekarang-4.jpg

http://isam.co.id/wp-content/uploads/2013/01/23-2x-820x500.jpg Pemerintah selalu menghadapi persoalan klasik yang tak junjung selesai, yakni persoalan gejolak harga daging sapi. Padahal selama ini masyarakat terus menanti langkah serius pemerintah meredam gejolak harga daging sapi.


Menyikapi persoalan ini, Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya, Sarman Simanjorang menilai pemerintah harus realistis akan susahnya swasembada sapi karena persoalan penanganan industri sapi butuh waktu panjang dan membutuhkan perbaikan regulasi.

”Jangan dipaksakan swasembada jika tak mampu. Selama ini negara kita terbebas dari PMK. Jika tetap impor dari India, maka akan mengancam Indonesia terjangkit PMK. Ini juga bisa menjalar ke produk turunannya,” ujarnya dalam acara Forum Dialog HIPMI Sesi ke-35 dengan tema "Mau dibawa kemana industri sapi dan daging sapi Indonesia?" di Menara Bidakara, Jakarta, Rabu (24/2/2016).

Jika tetap memaksakan impor dari India, setidaknya bisa dimulai dari impor daging beku dahulu agar lebih aman. “Apabila impor dari Australia masih aman, kenapa cari yang lain?,” Kata Sarman.

Lebih dari itu, ia juga menyarankan agar pembatasan ijin impor diperpanjang dengan periode waktu yang lama.

“Kalau bisa ijinnya jangan terlalu pendek waktunya agar kepastian usaha dan ketersediaan tercukupi. Pemotongan sapi ada aturannya, jika tak sesuai standar proses penggemukan sapi, maka tak boleh di potong dulu,” ungkapnya.

Kepala BPS Dr. Suryamin M.sc menjelaskan bahwa peternak sapi Indonesia justru didominasi oleh peternak yang mempunyai jumlah sapi paling sedikit, yakni satu sampai dua ekor dengan prosentase sebesar 66,34 persen. Sebaliknya untuk jumlah sapi yang lebih dari sepuluh ekor justru hanya sebesar 4,83 persen. Sedangkan sisanya sebesar 28,83 persen dengan jumlah sapi tiga sampai sembilan ekor.

Ia menjelaskan ada hal yang bahaya dari industri sapi, terlebih keadaan industri sapi lokal. Jika kondisi harga dianggap terlalu tinggi, maka sapi lokal betina biasanya turut dipotong juga. Seharusnya yang dipotong yang jantan. Satu sisi petani merasa diuntungkan, tetapi populasi kian menurun.

Ketua Dewan Daging Sapi Nasional, Dr. drh. Soehadji turut menyayangkan sikap pemerintah yang membuka keran sapi dari India karena kekhawatiran ancaman PMK yang riwayatnya dikenal sebagai negara yang terjangkit dari PMK.

“Saya heran kenapa pemerintah mengimpor dari India. Padahal negara tersebut selama ini masih diragukan bebas dari PMK. Ini justru bisa memunculkan potensi terjangkitnya Indonesia dari PMK. Yang jelas kita sulit terlepas dari impor, sapi lokal terlantarkan dibiarkan. Padahal potensi sangat banyak, pemerintah tak serius kembangkan sapi lokal,” kata Soehadji.

Suhadji mengaku sulit mengindari impor, tetapi hal yang realistis ialah sebaiknya Indonesia menganut konsep asas kemandirian secara bertahap agar efektif mengurangi ketergantungan impor. Jadi, ternak sapi setidaknya harus terstruktur, terukur, dan berkelanjutan sesuai asas kecukupan pasar.

Mahfud Effendi

Terpublikasi, http://www.bisnispost.com/peluang-bisnis/agribisnis/2016/02/24/pemerintah-harus-realistis-tak-memaksakan-diri-swasembada-sapi

Pict:http://isam.co.id/wp-content/uploads/2013/01/23-2x-820x500.jpg

Kamis, 18 Februari 2016

Pemerintah patut diapresiasi karena telah mengeluarkan Paket X yang terfokus pada peningkatan investasi, terlebih asing. Tetapi ada beberapa hal poin yang menarik untuk dicermati, antara lain:

1.       Mengancam UKM yang identik bertumpu pada nilai modal
Konsekuensi besarnya kekuatan modal asing akan menyebabkan asing kian leluasa, bahkan bisa menguasai atau mematikan tak hanya sector hulu, tetapi sector hilir juga.

2.       Sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, seperti Cafe dan restoran, resmi dikeluarkan dari DNI dan dibuka 100% PMA.

Perubahan aturan kepemilikan asing yang semula restoran (51%) dan Café (49%), kini menjadi dibebaskan 100% untuk asing/PMA dinilai kurang tepat. Karena di sector ini masih banyak UMKM yang eksis dan sedang tumbuh. Sektor ini juga masih mampu eksis tanpa kehadiran asing. Jika ini dibiarkan, maka ini akan mengancam dan menghambat pelaku UMKM di sector tersebut.

3.       Kebijakan ini tak berdampak signifikan bagi peningkatan PMA
Masuknya minat investor asing juga patut dipertanyakan signifikansinya. Kenapa? Karena asing masih menganggap bahwa Indonesia seringkali inkonsisten karena kebijakannya seringkali berubah-ubah dan keterbatasan infrastruktur yang menyebabkan susahnya perijinan serta tingginya biaya logistic yang selama ini sangat dikeluhkan investor atau kendala lainnya.  

Itulah yang meyebabkan mereka (investor) enggan masuk ke Indonesia. Jadi, percuma saja keran asing dibuka bebas, tetapi mereka masih belum yakin masuk, terlebih masuk ke sector-sektor tertentu. 

Apa sejatinya yang dibutuhkan invetor? 
Tentu tak hanya pelonggaran PMA saja, tetapi yg utama perlu didukung konsistensi/kepastian regulasi pemerintah dalam hal perbaikan infrastruktur dan birokrasi. Selain itu yang investor butuhkan bukan hanya banyaknya aneka paket, tapi setidaknya perbaiki dahulu infrastruktur, termasuk kepastian dwelling time di berbagai pelabuhan daerah agar mampu menekan biaya logistic maupun birokrasi yang rumit. Konsep tol laut benar-benar harus dipastikan perjalanannya, termasuk infrastruktur pendukung lainnya, seperti bandara, dan tol di daerah-daerah. Lagi-lagi agar cost logistik bisa ditekan. Apalagi, ditambah birokrasi yang semakin mudah.

Secara umum Paket X pada dasarnya bagus untuk menumbuhkan investasi dan lapangan kerja untuk menstimulus perekonomian. Akan tetapi,  beberapa sector perlu mendapat penyikapan serius karena bakal dirugikan adanya kebijakan ini, seperti Café dan Restoran. Oleh sebab itu, sebaiknya pemerintah memberikan kesempatan sector strategis untuk berkembang dan pemerintah tak gegabah membebebaskan sector yang masih dianggap penting untuk tetap dibatasi kepemilikannya dari asing. 

Di lain sisi pelonggaran DNI akan menjadi pancingan masuknya minat investor asing, tetapi di sisi lain ini bisa takutnya jika diteruskan dalam jangka panjang akan mengancam usaha kecil. Padahal kebijakan ini sejatinya dikatakan untuk melindungi usaha kecil, tetapi nyatanya ini akan menjadi ancaman serius bagi kelangsungan perkembangan usaha kecil.

*Tetapi, secara umum kebijakan ini sah-sah aja dan tak terlalu mengancam. Sebab untuk investor asing yang masuk dilakukan batasan modal usaha Rp 10 miliar (total investasi minimal Rp 100 miliar) atau boleh juga melalui pola kemitraan dengan lokal asal tetap modal usahanya minimal Rp 10 miliar

Hanta saja yag dikhawatirkan seiring berjalannya waktu karena besarnya capital, akan mengancam penguasaan dari hulu sampai hilir. Semoga konsisten !

POIN ISI PAKET KEBIJAKAN EKONOMI JILID X

Pemerintah menerbitkan siaraan per tanggal 15 Februari 2016, isinya terkait perlindungan UMKMK dan pelonggaran aturan investasi asing. Ini merupakan bagian dari revisi Perpres No. 39 Th. 2004 tentang poin Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Negatif Investasi (DNI). 

Disebutkan bahwa usaha yang bermodal di bawah Rp 10 miliar bagu UKMK yang beresiko kecil dan teknologinya masih sederhana, maka asing dilarang masuk. Saat ini Perpres baru masih menunggu tanda tangan Presiden, tetapi public sudah bisa melihat hasil usulannya agar investor segera mendapat kepastian mana saja yang masuk daftar terbuks investasi asing beserta batasan kepemilikannya.

ISI EKONOMI SEPEKAN

PELONGGARAN MONETER BI RATE

Beberapa hari lagi Rapat Dewan Gubernur (RDG) akan berlangsung pada 17 - 18 Februari 2016. Bi rate bulan lalu turun 0.25 bps menjadi 7.25%. Dan kali ini ada indikasi kuat bi rate berpotensi turun lagi, mungkin 7%. Kenapa? Karena ruang pelonggaran moneter semakin terbuka. 

1.       Factor pertama, kondisi makroekonomi, seperti Inflasi masih dibilang stabil (3.35% yoy)/ masih dilevel target +/-4% (gap inflasi dan suku bunga juga sudah terlalu lebar = longgar). Kurs  Rupiah terhadap USD juga mulai menunjukkan tren membaik, yakni penguatan. Namun,
2.       Faktor kedua, yakni eksternal terkait the fed dan ekonomi China jika asumsinya stabil. 

Oleh karena itu, sepatutnya bi rate turun 0.25 bps dari  sebelumnya7.25% menjadi 7%.

Kamis, 04 Februari 2016


Ilustrasi saat KUR 2014. (http://img.bisnis.com/posts/2015/08/07/460369/kur.jpg)

Tempo hari Presiden Jokowi berkeinginan untuk menurunkan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) hingga level 4-6 persen. Jokowi mengaku tujuan tersebut agar mampu mendorong plafon kredit karena suku bunga dinilai masih tinggi dan memberatkan, terlebih bagi UMKM.

Komitmen pemerintah ditunjukkan dan akhirnya berhasil menurunkan suku bunga hingga 9 persen dengan suntikan alokasi subsidi bunga KUR tahun 2016 yang mencapai Rp 120 trilun lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp 90 triliun.

Untuk itu, Wasekjen DPP PAN, Dipo Ilham, turut menanggapi persolan tersebut dan meminta agar besaran suku bunga di level 4-6 persen perlu penyesuaian yang lebih rasional.

Menurutnya, pemerintah memang telah berhasil menurukan suku bunga KUR dari 22 persen menjadi  12 persen pada tahun lalu dan akhirnya menjadi 9 persen pada tahun 2016. Tetapi, anjloknya realisasinya KUR seharusnya menjadi cerminan dan patut dipertanyakan karena tahun lalu hanya mencapai sekitar 40 persen-an saja dari target Rp 30 triliun yang ditetapkan. Sedangkan tahun 2016, penyerapan target KUR ditetapkan jauh lebih besar, yakni sekitar Rp 100 triliun

“Bagaimana suku bunga bisa diturunkan hingga level 4-6 persen? jika realisasi penyerapan KUR tahun lalu saja masih rendah. Subsidi ditingkatkan hingga level berapapun seakan butuh suntikan dana subsidi yang tak sedikit dan seakan percuma, jika realisasinya tetap rendah. Ini artinya, perbankan dituntut kerja keras untuk menggenjot target yang telah di patok,” ujarnya saat di temui Bisnispost di Jakarta, Kamis (4/2/2016).

Dari sisi perbankan, tentu bank akan merasa kesulitan atau terbebani, misalnya tekanan berkurangnya margin pendapan bunga atau net interest margin dan yang lainnya.

“Sulit rasanya jika tingkat inflasi tahun 2015 sebesar 3,35 persen (yoy),  apalagi jika situasinya inflasi mencapai 8,36 persen, seperti tahun 2014, dan memaksa suatu saat mengimpikan suku bunga KUR bisa turun hingga 4-6 persen,” kata politisi muda PAN itu. 

Ia menambahkan, perbankan pasti akan merasa keberatan akan hal itu dan nilai keuntungan rill-nya kecil. Sementara itu, bank juga sedang mengalami ketatnya likuiditas. Belum lagi ditambah kemungkinan gangguan sentimen negative yang bisa muncul, seperti kurs valas, inflasi, dan lainnya.
“Suku bunga rendah level 4-6 persen di rasa belum rasional atau relevan mengingat kondisi perekonomian yang sedang melambat,” Kata Dipo Ilham yang juga merupakan Ketua Umum JAKEC (Jakarta Entrepreneur Club). 

Dipo menegaskan dan menyarankan bahwa persoalaan yang utama atau esensi yang realistis memang tak hanya soal suku bunga saja, tetapi juga perlunya insentif dan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Lebih dari itu, perbaikan struktur ekonomi dan efektiftas aneka paket yang telah atau akan dikeluarkan seharusnya terus dipastikan kefektifannya.

Penulis:
Mahfud Effendi, terpublikasi Friday, 12 February 2016 | 10:30 WIB,
http://www.bisnispost.com/ekonomi/keuangan/2016/02/12/dipo-menilai-suku-bunga-rendah-kurang-rasional-sulit-tercapai 


pict (http://kominfo.go.id)

KUR saat suku bunga 12%. Pada 2016 berhasil diturunkan hingga 9%.Tapi Jokowi bermimpi ingin suku bunga 4-6%. Suku bunga hingga 9% salah satu yang getol menjadi inisiator ialah atas desakan permintaan HIPMI.