Kamis, 25 Februari 2016

Kinerja Ekspor Merosot Tajam dan Laju Utang Kian Tinggi serta Apa Kabar RUU Tax Amnesty?



Dari tahun ke tahun kinerja ekspor per Januari 10,5 miliar USD atau merosot hingga 20,72% dalam waktu setahun (BPS, 2015). Total nilai ekspor tahun 2015 untuk level ekspor ke semua Negara ASEAN saja tahun 2015 turun menjadi 27.280,6 juta USD dibandingkan tahun 2014 sebesar 28.876 dan tahun 2013 yang sebesar 30.068,9 juta USD.
 
Lebih parahnya lagi, laju utang terus meningkat besarannya. Berdasarkan data per akhir Januari, tercatat total utang pemerintah bertambah lagi sebesar Rp 3.220,98 triliun. Utang terbesar umumnya berasal dari SBN yang mencapai Rp 2.346,73 triliun dan utang lainnya, seperti utang bilateral maupun multilateral yang mencapai Rp 761,64 triliun.
 
Sumber: Data Kemenkeu, 2015

Hutang terus bertambah tak terlalu dipermasalahkan, asalkan efektifdigunakan untuk pembangunan infrstruktur. Pasalnya, utang tersebut sebagian  dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur.

Pada era perlambatan ekonomi, sebaiknya memang tak usah terlalu sering membawa persoalan  atau bicara efisiensi. Akan tetapi sebaiknya lebih baik bicara efektifitas. Kenapa? aspek pembangunan infrastruktur, terlebih yang sifatnya strategis, maka pola pikir (mindset) seharusnya condong ke efektifitas. Jadi, utang bertambah tak masalah asalkan efektif.

Sedangkan jika berbicara efisiensi, lebih baik di alokasikan ke swasta (korporasi) atau mitra kerjasama lainnya. Dengan demikian, diharapkan akan berdampak baik terhadap produktifitas, mampu menekan biaya, dan tentunya bermanfaat kedepannya. Apabila dipaksa berpikir efisien, maka akan menjadi beban dan kesulitan pembangunan infrastrukturnya. 

Namun nyatanya?

1.             Laju Utang yang semakin bertambah tak sebanding dengan realisasi penyerapannya.
Realisasi penyerapan anggaran sebaiknya terus diperbaiki dan dipastikan pelaksanaannya.

2.             Tingkat suku bunga masih terlalu tinggi, maka bisa lebih progresif lagi
Kebijakan moneter harus semakin progresif mengingat gap bi rate dengan inflasi masih cukup tinggi meski bi rate kini sudah 7%. Ruang pelonggaran ruang moneter semakin terbuka. Turunnya bi rate penting untuk membuat perbaikan ekonomi lebih baik, apalagi efek pelemahan ekonomi seperti sekarang ini, seperti gelombang PHK, merosotnya ekspor, dll. Maka, rakyat butuh stimulus, salah satunya suku bunga rendah.

3.    Terlalu mengandalkan penerbitan instrumen surat utang (obligasi) karena target pajak selalu meleset.
     Pro kontra RUU revisi UU KPK terus berhembus kencang mengemuka di tengah-tengah publik. Terlepas dari itu, seolah banyak yang terlupa betapa pentingnya urgensi RUU lainnya yang sebelumnya berhembus kencang tiba-tiba senyap.

      Seharusnya perlu perbaikan fiskal, salah satu yang terpenting ialah desakan agar RUU tax amnesty segera dibahas (red:jangan ditunda-tunda) agar stimulus fiskal membaik dan hal terpenting ialah untuk pembahasan APBNP 2016 yang akan dibahas sekitar pertengahan tahun 2016. Jika tak segera selesai, maka akan mengganggu rancangan APBNP 2016. Ini merupakan instrumen lain yang mendesak segera diselesaikan !!!



apabila RUU tax amnesty tak segera diselesaikan. Maka, tentu akan menganggu jalannya perekonomian dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016. Sehingga akan MENGHAMBAT perbaikan fiscal dan iklim perekonomian yang kian kondusif.


ISU SEPEKAN


1.       Bi Rate Turun 0.25 bps dari 7.25% menjadi è7%(posisi ini seperti  29 Agustus 2013 sebesar 7%)

Oktober (2015)
November (2015)
Desember (2015)
Januari (2016)
Februari (18/2/16)
7.50%
7.50%
7.50%
7.25%
7%
Inflasi
6.25%
4.89%
3.35%
4.14%
-

Grafik Bi Rate
 
2.       Isu Kebijakan Insentif OJK bagi bank yang menurunkan NIM di kisaran 3%-4% .
Tujuanèagar perbankan Indonesia lebih kompetitif dan suku bunga kredit mampu di tekan karena dinilai sudah terlalu tinggi. Sehingga akhirnya perbankan mampu meningkatkan efisiensinya.

Caranyaè pemberian insentif agar efisien melalui pembatasan NIM bank, seperti insentif kemudahan ekspansi cabang,  dll. Semakin rendah NIM, Maka makin besar insentifnya.

Dasarnyaèspread NIM perbankan Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Negara lainnya.

Komparasi Net Interest Margin (NIM) di Level ASEAN
BRI (Indonesia)
Bank DBS (Singapore)
Kaskornbank (Thailand)
Public Bank (Malaysia)
8.13%
1.68%
3.67%
2.16%.
Sumber: Bloomberg, 2015

3.       Draft RUU JPSK Telah Rampung
Pemerintah, Bank Indonesia (BI)  dan DPR (Komisi XI) dikabarkan telah menyelesaikan isu utama menjadi draft  RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) untuk segera dijadikan UU.

4.       Wacana Bank Indonesia (BI) merubah aturan LTV yang disesuaikan dengan kondisi daerah.

Weekly Report.
PICT:http://www.teropongbisnis.com/wp-content/uploads/2013/07/Bahaya-Hutang-Masyarakat-Modern-Sekarang-4.jpg

0 komentar:

Posting Komentar

Yuk, sampaikan komentarmu, Bebas Berkomentar Kok Asalkan TIDAK SARA !