Dari tahun ke tahun kinerja ekspor per Januari 10,5 miliar USD atau merosot hingga 20,72% dalam waktu setahun (BPS, 2015). Total nilai ekspor tahun 2015 untuk level ekspor ke semua Negara ASEAN saja tahun 2015 turun menjadi 27.280,6 juta USD dibandingkan tahun 2014 sebesar 28.876 dan tahun 2013 yang sebesar 30.068,9 juta USD.
Lebih parahnya lagi, laju utang terus
meningkat besarannya. Berdasarkan data per akhir Januari, tercatat total utang
pemerintah bertambah lagi sebesar Rp 3.220,98 triliun. Utang terbesar umumnya
berasal dari SBN yang mencapai Rp 2.346,73 triliun dan utang lainnya, seperti
utang bilateral maupun multilateral yang mencapai Rp 761,64 triliun.
Sumber: Data Kemenkeu, 2015
Hutang terus bertambah tak terlalu
dipermasalahkan, asalkan efektifdigunakan untuk pembangunan infrstruktur. Pasalnya,
utang tersebut sebagian dialokasikan
untuk perbaikan infrastruktur.
Pada era
perlambatan ekonomi, sebaiknya memang tak usah terlalu sering membawa
persoalan atau bicara efisiensi. Akan
tetapi sebaiknya lebih baik bicara efektifitas. Kenapa? aspek pembangunan
infrastruktur, terlebih yang sifatnya strategis, maka pola pikir (mindset)
seharusnya condong ke efektifitas. Jadi, utang bertambah tak masalah asalkan
efektif.
Sedangkan
jika berbicara efisiensi, lebih baik di alokasikan ke swasta (korporasi) atau
mitra kerjasama lainnya. Dengan demikian, diharapkan akan berdampak baik
terhadap produktifitas, mampu menekan biaya, dan tentunya bermanfaat
kedepannya. Apabila dipaksa berpikir efisien, maka akan menjadi beban dan
kesulitan pembangunan infrastrukturnya.
Namun nyatanya?
1.
Laju Utang yang semakin bertambah tak sebanding dengan realisasi
penyerapannya.
Realisasi penyerapan anggaran sebaiknya terus diperbaiki dan
dipastikan pelaksanaannya.
2.
Tingkat suku bunga masih terlalu tinggi, maka bisa lebih progresif
lagi
Kebijakan moneter harus semakin progresif mengingat gap bi rate
dengan inflasi masih cukup tinggi meski bi rate kini sudah 7%. Ruang pelonggaran
ruang moneter semakin terbuka. Turunnya bi rate penting untuk membuat perbaikan
ekonomi lebih baik, apalagi efek pelemahan ekonomi seperti sekarang ini,
seperti gelombang PHK, merosotnya ekspor, dll. Maka, rakyat butuh stimulus,
salah satunya suku bunga rendah.
3. Terlalu mengandalkan penerbitan instrumen surat utang (obligasi) karena target
pajak selalu meleset.
Pro kontra RUU revisi
UU KPK terus berhembus kencang mengemuka di tengah-tengah publik. Terlepas dari itu,
seolah banyak yang terlupa betapa pentingnya urgensi RUU lainnya yang sebelumnya
berhembus kencang tiba-tiba senyap.
Seharusnya perlu perbaikan fiskal, salah satu yang terpenting ialah desakan agar RUU tax amnesty segera dibahas (red:jangan ditunda-tunda) agar stimulus fiskal membaik dan hal terpenting ialah untuk pembahasan APBNP 2016 yang akan dibahas sekitar pertengahan tahun 2016. Jika tak segera selesai, maka akan mengganggu rancangan APBNP 2016. Ini merupakan instrumen lain yang mendesak segera diselesaikan !!!
apabila RUU tax amnesty tak segera diselesaikan. Maka, tentu akan menganggu jalannya perekonomian dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016. Sehingga akan MENGHAMBAT perbaikan fiscal dan iklim perekonomian yang kian kondusif.
ISU SEPEKAN
1. Bi Rate Turun 0.25 bps dari 7.25% menjadi è7%(posisi ini seperti 29 Agustus
2013 sebesar 7%)
Oktober (2015)
|
November (2015)
|
Desember (2015)
|
Januari (2016)
|
Februari (18/2/16)
|
7.50%
|
7.50%
|
7.50%
|
7.25%
|
7%
|
Inflasi
|
||||
6.25%
|
4.89%
|
3.35%
|
4.14%
|
-
|
Grafik
Bi Rate
2. Isu Kebijakan Insentif OJK bagi bank yang
menurunkan NIM di kisaran 3%-4% .
Tujuanèagar
perbankan Indonesia lebih kompetitif dan suku bunga kredit mampu di tekan
karena dinilai sudah terlalu tinggi. Sehingga akhirnya perbankan mampu
meningkatkan efisiensinya.
Caranyaè
pemberian insentif agar efisien melalui
pembatasan NIM bank, seperti insentif kemudahan ekspansi cabang, dll. Semakin rendah NIM, Maka makin besar
insentifnya.
Dasarnyaèspread NIM perbankan Indonesia jauh lebih
tinggi dibandingkan Negara lainnya.
Komparasi
Net Interest Margin (NIM) di Level ASEAN
|
|||
BRI
(Indonesia)
|
Bank
DBS (Singapore)
|
Kaskornbank
(Thailand)
|
Public
Bank (Malaysia)
|
8.13%
|
1.68%
|
3.67%
|
2.16%.
|
Sumber: Bloomberg, 2015
3. Draft RUU JPSK Telah Rampung
Pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan DPR (Komisi XI) dikabarkan telah
menyelesaikan isu utama menjadi draft RUU
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) untuk segera dijadikan UU.
4. Wacana Bank Indonesia (BI) merubah aturan LTV yang disesuaikan dengan kondisi
daerah.
Weekly Report.
PICT:http://www.teropongbisnis.com/wp-content/uploads/2013/07/Bahaya-Hutang-Masyarakat-Modern-Sekarang-4.jpg
PICT:http://www.teropongbisnis.com/wp-content/uploads/2013/07/Bahaya-Hutang-Masyarakat-Modern-Sekarang-4.jpg
0 komentar:
Posting Komentar
Yuk, sampaikan komentarmu, Bebas Berkomentar Kok Asalkan TIDAK SARA !