Menyikapi persoalan tersebut, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya Prof. Candra Fajri, SE., MSc., Ph.D turut angkat
bicara agar pemerintah menunda dulu regulasi pemungungutan dana melalui
untuk program ketahanan energi dengan memanfaatkan penurunan harga BBM.
Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa kebijakan tersebut tak ada legal
hukumnya. Setiap proses pemungutan yang dilakukan oleh negara kepada
masyarakat seharusnya berdasarkan legal hukum.
Dia juga menyanyangkan sikap Mentri ESDM Sudirman Said karena
regulasi penurunan harga BBM tersebut tak memiliki landasan hukum yang
jelas. Belum jelasnya pungutan ini dari segi penggunaannya, mengingat
belum ada petunjuk teknis. Akibatnya, hal ini akan berpotensi rawan
terjadi penyalahgunaan.
“Setiap pungutan oleh negara kepada masyarakat, harus ada legal
formalnya. Sayangnya, pungutan ini belum ada, kata Ekonom Brawijaya ini.
Lanjut, Chandra meminta agar regulator mempertimbangkan dalam
mekanisme pemungutannya. Pasalnya, masyarakat sudah membayar pajak BBM
atau pajak daerah berkisar 5 sampai 10 % yang peruntukannya untuk
perbaikan jalan.
Seperti kita ketahui bahwa harga premium sebelumnya Rp7.300 akan
diturunkan Rp6.950 per-liternya. Akan tetapi, pemerintaah berencana
melakukan pungutan dana sekitar Rp200 per-liter. Sehingga harga premium
nantinya akan mencapai Rp7.150 per- liternya. Sedangkan solar dari
Rp6.700 akan turun Rp5.650 per-liter dan dari angka tersebut sudah
termasuk diberlakukan subsidi Rp1.000 per-liter. Sehingga harga solar
per-liternya akan menjadi Rp5.950.
(UPDATE) Dan RESMI bahwa pemerintah akhirnya menunda kebijakan ini.
(UPDATE) Dan RESMI bahwa pemerintah akhirnya menunda kebijakan ini.
Penulis:
Mahfud Effendi
0 komentar:
Posting Komentar
Yuk, sampaikan komentarmu, Bebas Berkomentar Kok Asalkan TIDAK SARA !