Perdagangan
China dari tahun ke tahun kian meningkat. Amerika berdalih seakan
khawatir akan dominasi kuatnya perekonomian China di tataran Global,
sehingga membuat Amerika tergerak melakukan inisiasi untuk membentuk
poros TPP. Pertarungan yang disertai ambisi tinggi dua poros besar
tersebut tentu akan mengundang konsekuensi yang beragam dampaknya.
Ketua Bidang Organisasi BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)
Anggawira menuturkan bahwa pemerintah memberikan sinyal kuat untuk
bergabung dalam kerjasama Trans Pacific Partnerships (TPP). Indikasi ini
tercermin sejak kunjungan Jokowi ke Amerika beberapa saat sebelumnya.
Anggawira juga menambahkan kalau kesiapan Indonesia tentunya patut
dipertanyakan mengingat sudah banyak kerjasama yang kurang menguntungkan
Indonesia yang perlu segera dievaluasi atau disikapi.
“Alih-alih mendapatkan keuntungan jika gabung TPP, justru malah akan menjadi boomerang bagi Indonesia”, harus kaji ulang!,” tegas Anggawira.
Dari segi aturan TPP, poros yang di inisiasi Amerika ini benar-benar
liberal. Salah satu contoh pasal yang dapat membuktikan betapa
liberalnya aturan TPP, yakni kesepakatan persamaan perlakuan BUMN dengan
perusahaan umum atau asing.
“Hal ini berarti TPP hanya dinilai melemahkan posisi strategis BUMN
karena kurangya dukungan terhadap hak BUMN nasional. Padahal selama ini
BUMN menjadi vitamin penting bagi pembangunan negara, juga agar sejalan
dengan kedaulatan atau konstitusi, seperti pasal 33 UUD 1945”, kata
Doktor Bidang Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Dia juga menegaskan, bahwa saat ini saja banyak BUMN besar kita yang
sudah dikuasai asing, apalagi jika kita memaksakan diri bergabung
bersama TPP yang jelas-jelas merugikan posisi kita dan mengganggu
kedaulatan ekonomi bangsa serta menurunkan daya saing. “Bagaimana
industri kita mau bersaing, jika terlalu liberal dan semangat Nawacita
jadi dipertanyakan. Sekali lagi bahwa kedaulatan bangsa harus dijadikan
prioritas utama pemimpin Indonesia”, tegas Anggawira.
“Jangan sampai bangsa ini menghadapi kompetisi habis-habisan yang
sangat berisiko, melainkan diperlukan kompetisi yang terkendali (manage
competition). Lain lagi jika posisi Indonesia jika sudah siap, AEC 2015
saja terlihat keteteran”, paparnya.
Menurutnya jika dilihat dari segi analisis ekonomi, pertimbangan
neraca perdagangan perlu diperhatikan. TPP akan berpotensi melebarkan
defisit perdagangan yang besar. Jika dilihat perbandingan Indonesia
dengan negara lain yang tergabung poros TPP, posisi Indonesia masih
lemah nilai perdagangannya. Menurut Kontan (2015), Sepanjang Januari -
Oktober 2015 saja, defisit neraca perdagangan dengan China mencapai
USD12,82 Miliar
0 komentar:
Posting Komentar
Yuk, sampaikan komentarmu, Bebas Berkomentar Kok Asalkan TIDAK SARA !