Rabu, 02 Desember 2015

EKONOMI MIRAS

Aturan pemerintah terkait pelonggaran bisnis minuman keras (Miras) menuai inkonsistensi dan kontroversi serta menimbulkan keprihatinan dari berbagai lapisan masyarakat. Saking sensisitifnya, sampai-sampai kebijakan ini menjadi trending tropic di berbagai media sosial guna menyuarakan protes atau aspirasinya. 

Disaat beberapa bulan sebelumnya yang telah di resuffle menteri perdagangan Rachmat Gobel menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), No. 06/M-DAG/ PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Secara lebih rinci aturan itu menyebutkan pelarangan penjualan minuman beralkohol (minol) golongan A untuk diperdagangkan secara bebas, misalnya minol yang berkadar alcohol kurang dari 5% dilarang diperjual-belikan secara bebas dan penjualan hanya diperbolehkan di tempat-tempat tertentu, tetapi hanya boleh dikonsumsi di lokasi atau dengan kata lain tidak boleh dibawah pulang.

http://www.manadotoday.co.id/wp-content/uploads/2015/03/MIRAS.jpg
Inkonsistensi dan kontroversi itu muncul setelah menteri baru atau saat ini yang mengantikan menteri lama, yakni Thomas Lembong justru sebaliknya dengan menekankan pelonggaran bisnis miras melalui deregulasi aturan yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen Dagri) No. 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Berakohol. Padahal aturan sebelumnya juga masih longgar, yakni masih diperbolehkannya menjual miras sesuai dengan perijinan yang diperoleh. Rencana relaksasi ini adalah salah satu dalam Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan pemerintah pada 9 September 2015 lalu.

Cukai menjadi daya tarik tersendiri bagi pemerintah dalam peningkatan pendapatan negara untuk pembangunan nasional. Jika dilihat dari pengertian cukai, cukai adalah suatu pajak yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu (selective). Tujuan pemungutan cukai lebih menitikberatkan pada fungsi pengaturan  (regulerend). Fungsi ini lebih ditujukan untuk mengatur peredaran barang-barang khusus yang secara umum memiliki dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Agar tidak menimbulkan keresahan maupun kerugian yang besar, pemerintah diperbolehkan mengatur keberadaan barang-barang khusus tersebut. 
Cnossen (2005) menjelaskan beberapa sasaran utama dalam pengenaan cukai oleh pemerintah, antara lain adalah untuk meningkatkan pendapatan negara dalam rangka mendukung program-progam umum pemerintah, sebagai cerminan dari biaya eksternalitas, untuk membatasi konsumsi terhadap produk-produk tetentu dan sebagai bentuk kompensasi publik atas pelayanan yang disediakan pemerintah. Pungutan cukai digunakan sebagai salah satu instrumen fiskal yang dapat memberikan tambahan pendapatan bagi negara, akan tetapi akan dapat membebani pihak-pihak yang menggunakan produk yang berpotensi menimbulkan dampak negatif.

Pengenaan cukai berdasarkan kadar alkoholnya dibedakan menjadi golongan A,B dan C. Semakin tinggi alkohol yang terkandung didalamnya, maka cukai yang dikenakan akan semakin besar, hal ini dilihat dari eksternalitas negatif yang ditimbulkannya. Berdasarkan daftar tarif cukai diatur dalam PMK No.62/PMK.011/2010 yaitu tarif cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol dengan kadar alkohol 0%-5% atau golongan A untuk dalam dan luar negeri Rp 11 ribu. Tarif golongan B per liter kadar alkohol 5%-20%, untuk dalam negeri Rp 30 ribu, sedangkan impor Rp 40 ribu. Sementara tarif golongan C per liter kadar alkohol lebih dari 20%, dalam negeri Rp 75 ribu dan impor Rp 130 ribu.

Hal ini menarik untuk dikaji kembali terkait sejauh mana dampak bisnis miras bagi perbaikan perekonomian. Padahal sebelumnya Jokowi dalam sebuah kongres umat islam Indonesia tepatnya di bulan Februari 2015 telah berkomitmen menyatakan tidak apa-apa kita kehilangan sekian triliun daripada kerugian negara yang ditanggung jika peredaran miras semakin bebas. Selain itu, Indonesia juga dikenal dengan populasi muslim terbesar di dunia yang dengan tegas mengharamkan miras tentu akan semakin miris jika miras dijual bebas. Lebih lanjut, miras identik dengan budaya barat dan bertolak belakang dengan budaya bangsa Indonesia.

Faktor kesehatan sangat jelas juga bertentangan karena dapat merusak tubuh. Minuman keras termasuk barang konsumtif yang akan habis dalam sekali pakai yang memiliki banyak sisi negatif yang ditimbulkan ketika sering mengonsumsinya karena minuman ini dapat memabukkan dan menghilangkan akal manusia, sehingga rawan menjadi sumber kejahatan. Alkohol selama ini menjadi salah satu faktor utama penyebab beberapa tindak kriminalitas karena pengaruhnya yang dapat menurunkan tingkat kesadaran. Sudah hal yang umum miras terkenal menjadi penyebab tindak kejahatan akibat hilangnya kesadaran, seperti pemerkosaan, pembunuhan, kecelakaan, kekerasan, dan sebagainya. Tentu sudah terhitung lagi banyaknya efek negatif yang ditimbulkan, kita masih ingat kasus yang lalu terkait tragedi kecelakaan di tugu tani yang menewaskan banyak orang dan mendapatkan banyak kecaman keras oleh masyarakat yang diakibatkan oleh efek miras. Seharusnya peristiwa tersebut dijadikan momentum untuk membatasi peredaran miras, bukan malah melonggarkannya.

Alkohol merupakan depresan yang menekan kinerja sistem syaraf pusat. Konsumsi alkohol akan berpengaruh terhadap meningkatnya aktivitas asam gamma aminobutyric (gaba) dan melemahkan glutamin yang menyebabkan koordinasi tubuh menjadi lumpuh. ‎Hasil riset terbaru WHO menunjukkan konsumsi diatas 15 liter alkohol murni per tahun, memicu munculnya lebih dari 200 penyakit kronis, diantaranya kanker dan sirosis hati. Setiap tahunnya lebih dari 3,3 juta orang meninggal sebagai dampak konsumsi minuman beralkohol berlebihan. Angka tersebut bahkan lebih tinggi daripada kematian yang disebabkan penyakit AIDS, TBC, atau kejahatan kekerasan lainnya. Berbagai negara lain di dunia telah melakukan sistem pengenaan cukai di negara-negara lain dengan melihat produk yang mempertimbangkan dampak kesehatan dan lingkungan.

Jika kita berkaca pada peraturan sebelumnya itu bukan tanpa alasan akibat aturan hambatan bisnis miras. Industri bisnis miras bukan dimatikan, melainkan hanya diarahkan lebih selektif dalam penjualannya guna lebih menjaga generasi muda Indonesia. Memang bisnis ini bisa dibilang memberikan sumbangan cukai miras sekitar Rp 6 triliun. Sejauh mana arti dari Rp 6 triliun jika hanya membawa kekhawatiran ancaman rusaknya generasi muda dan belum tentu meningkatkan perekonomian. Seharusnya kita berpikir logis jika dihadapkan dengan pentingnya mengedepankan harapan masa depan generasi Indonesia dibandingkan konsumsi miras yang cenderung merusak dan menurunkan harapan generasi bangsa tersebut. Jangan hanya berambisi mengejar target kenaikan penerimaan cukai dijadikan dalih perbaikan perekonomian yang belum tentu berdampak signifikan bagi perekonomian.

Sebenarnya pebisnis miras tidak perlu khawatir berlebihan jika aturan diperktetat kembali. Meskipun omzet dapat berkurang, sebaiknya mereka lebih memikirkan kepentingan bangsa dan jikalau ingin mengejar omzet juga masih bisa dioptimalkan, hanya saja arahnya lebih selektif lagi dalam penjualannya. Misalnya, hanya  jual di cafe, hotel, dan lainnya karena secara umum miras banyak terjual disana. Dari sisi pajak, pemerintah juga justru akan mendapatkan pajak pertamnahan nilai (PPn) hingga 10% dan service charge 11% dibandingkan pembelian di minimarket yang tidak terdapat perolehan pajak. Ketakutan penurunan omzet juga bisa disiasati dengan memperlebar pasar dan menggenjot ekspor.

Pelaku bisnis miras juga perlu dipertanyakan jika sebelumnya mereka ngotot untuk meminta pelonggaran miras mengapa mereka bersikeras jual di minimarket yang banyak tersebar hingga pemukiman-pemukiman dan cenderung dikunjungi oleh segala usia, termasuk orang tua yang khawatir kepada anak-anak yang rawan terkena dampak buruk tersebut jika mengonsumsinya. Apa mereka juga mau jika kriminalitas terus meningkat dan kesehatan menurun akibat tingginya konsumsi miras. Padahal penjualan miras jika bisa dikontrol, maka kriminalitas juga akan tertekan. Orang yang cenderung mengonsumsi miras ditempatkan umum menyebabkan keresahan dan kekhawatiran oleh masyarkat. Berbeda jika konsumsinya ditempat yang semestinya cenderung tidak terlalu berdampak buruk kepada sekitarnya. Para turis atau masyarakat yang mengonsumsi di hotel atau café jarang yang berbuat onar, tetapi yang mengonsumsi disembarang tempat atau tempat umum bisa dipastikan rawan berdampak buruk.
Kekhawatiran penurunan omzet dari perolehan daerah wisata terkait mengonsumsi miras tidak perlu menilai secara berlebihan karena pasar di daerah wisata yang terdapat banyak turis cenderung tidak terpengaruh. Tidak ada salahnya jika miras lebih diarahkan ke kebutuhan turis asing karena sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Artinya, pengaruh seberapa mahal harganya permintaan masyarakat akan tetap membelinya dan pendapatan bagi pebisnis miras akan tetap ada. Padahal jika mau meningkatkan kunjungan wisata salah satunya ialah pentingnya upaya promosi, seperti layaknya gencarnya promosi negara lainnya.

Sikap pro Ahok selaku Gubernur Dki Jakarta turut mengundang keprihatinan. Seperti yang dilansir sebuah situs (Slsr.in, 2015), alasan dibalik getolnya setuju aturan Ahok terkait aturan pelonggaran miras ternyata pemda Dki Jakarta memiliki porsi saham di bidang bisnis miras yang cukup besar hingga 25% di PT Delta Djakarta, Tbk yang menjadi produsen dan memproduksinya. Keprihatinan inipun lagi-lagi muncul, yang seharusnya pemda menginvestasikan dananya di bidang produktif lainnya ternyata malah di investasikan ke bisnis miras.

Pengembangan generasi muda harus diutamakan dan salah satu penyebab terbesar yang merusak generasi ini ialah miras. Harga miras di Indonesia bisa dibilang sangat murah dan terjangkau, sehingga aksesnya sangat mudah untuk dijangkau anak-anak. Padahal di negara lain (negara tetangga) menerapkan kebijakan yang ketat dengan penerapan harga yang mahal agar tidak mudah diakses sembarangan dan tentu jika anak-anak atau pemuda akan berpikir ulang untuk membelinya.

Jika pariwisata juga dijadikan sebagai alasan, maka perlu dipertanyakan kembali mengingat tujuan utama datangnya turis ke suatu tempat wisata ialah menikmati pariwisatanya. Melainkan bukan datang untuk minum alkokhol yang utama yang dijadikan tujuan atau alasan utama. Jikalau mereka memang datang untuk miras, maka mereka bisa mendatangi tempat yang berjualan resmi atau lokasi wisata yang diperbolehkan pemerintah. Lihat saja, negara tetangga Singapura dan Malaysia yang aturan mirasnya jauh lebih ketat saja mampu mendatangan turis yang jauh lebih besar daripada Indonesia. Hal ini menunjukkan alasan wisata ini tidak bisa dijadikan dalih untuk bebasnya peredaran miras di Indonesia. Oleh karena itu, menjaga kepentingan generasi muda yang nanti menjadi harapan bangsa harus di utamakan daripada hanya sekedar mengonsumsi miras yang kurang sesuai dengan moralitas dan budaya Indonesia
Boleh saja bisnis miras tetap dijual, tetapi kalu bisa akses peredarannya dipersulit dan diperketat.  Apakah pemerintah dapat menjamin pengawasan peredaran miras dan dampak lainnya? Padahal pelanggaran penjualan miras kerapkali dilanggar oleh penjual akibat sangat lemahnya pengawasan miras diberbagai daerah. Jika peredaran semakin marak dan mudah ditemukan, akan mendorong orang yang awalnya tidak ingin membeli akan terdorong untuk  membelinya.

Kondisi ini kian memicu keprihatinan ditengah lemahnya pengawasan ini sudah menjadi hal umum bagi penjual miras. Penyebabnya tidak hanya karena dapat menambah pendapatan toko, tetapi juga ketakutan ancaman tokonya dirusak jika tidak melayani pembeli. Semakin maraknya peredaran miras akan semakin rawan berbagai pelanggaran terjadi, misalnya penjualan kepada anak-anak.

Pemerintah sebaiknya meninjau ulang aturan pelonggaran bisnis miras. Bukan tanpa alasan, jika kepentingan bisnis miras ini besar tetapi sebaiknya kepentingan lebih besar diarahkan ke hal yang lebih baik. Jika alasan besarnya perolehan cukai miras selama ini dijadikan dalih utama untuk ambisi kejar target cukai, tentu kurang pantas dan masih banyak sumber alternatif lain yang lebih layak dan bijak untuk dikembangkan.

Upaya perbaikan ekonomi melalui kebijakan pelonggaran miras ini dinilai kurang tepat atau efektif. Pemerintah harus mengkaji lebih dalam kebijakan dengan mengaitkan segala aspek dan implikasi terhadap proses awal dan akhir (forward dan backward linkages). Sebaiknya pemerintah lebih terfokus pada upaya alternatif lainnya yang dapat berdampak signifikan dan tidak hanya dinikmati segelintir orang saja serta agar tidak menjadi bumerang yang dapat merusak generasi harapan bangsa. Hal ini juga rawan menimbulkan kecurigaan dari produsen yang memanfaatkan situasi pelemahan ekonomi saat ini.

Sudah banyak permasalahan di negeri ini yang perlu mendapat perhatian serius daripada mementingkan miras yang jauh dari manfaat dan dampaknya bagi perbaikan perekonomian. Sebaiknya pemerintah perlu mengkaji ulang aturan ini, jangan hanya karena alasan dalih ekonomi dijadikan pemerintah untuk lebih memihak pebisnis miras dan tidak berkaca pada dampak sekitar. Pemerintah daerah juga dikhawatirkan semakin leluasa memperbolehkan peredaran miras akibat besarnya wewenang saat ini yang diperoleh. Sebelumnya miras dibatasi peredarannya, tetapi saat ini justru diserahkan secara leluasa ke pemerintah daerah masing-masing.

Dari segi perbaikan ekonomi juga dapat dikatakan dampaknya tidak terlalu signifikan maupun menggangu ekonomi. Daya saing industri diperkirakan belum berdampak signifikan bagi perbaikan ekonomi, daya saing industri, dan daya beli masyarakat karena aturan penjualan miras masih boleh dijual di supermarket, bar, restoran, hotel dan di lokasi wisata. Minuman mengandung Etil Alkohol hanya berkontribusi 4%-5% dari total penerimaan pendapatan atau tidak sebesar pendapatan cukai rokok. Hal ini tercermin dari komposisi Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) di penerimaan bea cukai yang tetap di kisaran angka itu meski tahun 2010 cukai MMEA sudah dinaikkan sekian kalinya. Berdasarkan data, tarif jenis Etil Alkohol (EA) per liter untuk semua jenis golongan dalam negeri dan luar negeri Rp 20 ribu. Konsentrat mengandung EA Tarif per liter semua golongan, dalam negeri maupun impor Rp 100.000,00. Sangat jelas bahwa perolehan cukai saat ini masih sangat bergantung pada rokok dan alkohol, dengan persentase sekitar 95 persen dari total perolehan cukai di Indonesia. Guna mempertahankan dan meningkatan penerimaan negara melalui cukai, bisa dengan cara menaikkan cukai rokok dan miras mengingat jika dibandingkan dengan negara Singapura bahwa tarif cukai Indonesia jauh lebih murah.

Masih banyak alternatif lain yang bisa dioptimalkan untuk mengejar target cukai selain cukai miras. Lebih dari itu, kemendag sebaiknya lebih fokus penindakan pelanggaran yang seringkali dilakukan oleh tempat-tempat yang berjualan miras yang tidak menanyakan identitas dalam penjualan mirasnya yang berhak boleh membelinya. Demikian juga, pemerintah lebih baik fokus membuat aturan yang mendorong porsi jatah ketersediaan peningkatan produk lokal di minimarket-minimarket. Jadi, dapat dikatakan bahwa relaksasi aturan bisnis miras tersebut tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian ditengah kondisi pelemahan ekonomi yang sekarang ini terjadi.

Penulis: 
Mahfud Effendi & Dr. Anggawira (Ketua BPP HIPMI Bidang Kaderisasi)

Sumber Gambar:
http://goo.gl/jKydfa

0 komentar:

Posting Komentar

Yuk, sampaikan komentarmu, Bebas Berkomentar Kok Asalkan TIDAK SARA !