Aturan pemerintah terkait pelonggaran
bisnis minuman keras (Miras) menuai inkonsistensi dan kontroversi serta menimbulkan
keprihatinan dari berbagai lapisan masyarakat. Saking sensisitifnya,
sampai-sampai kebijakan ini menjadi trending
tropic di berbagai media sosial guna menyuarakan protes atau aspirasinya.
Disaat beberapa bulan sebelumnya yang telah di resuffle menteri perdagangan Rachmat Gobel menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), No. 06/M-DAG/ PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Secara lebih rinci aturan itu menyebutkan pelarangan penjualan minuman beralkohol (minol) golongan A untuk diperdagangkan secara bebas, misalnya minol yang berkadar alcohol kurang dari 5% dilarang diperjual-belikan secara bebas dan penjualan hanya diperbolehkan di tempat-tempat tertentu, tetapi hanya boleh dikonsumsi di lokasi atau dengan kata lain tidak boleh dibawah pulang.
Inkonsistensi dan kontroversi itu muncul
setelah menteri baru atau saat ini yang mengantikan menteri lama, yakni Thomas
Lembong justru sebaliknya dengan menekankan pelonggaran bisnis miras melalui deregulasi
aturan yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
(Dirjen Dagri) No. 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Berakohol. Padahal aturan sebelumnya juga masih longgar, yakni masih diperbolehkannya
menjual miras sesuai dengan perijinan yang diperoleh. Rencana relaksasi ini adalah salah satu dalam Paket Kebijakan
Ekonomi yang dikeluarkan pemerintah pada 9 September 2015 lalu.
Cukai
menjadi daya tarik tersendiri bagi pemerintah dalam peningkatan pendapatan
negara untuk pembangunan nasional. Jika dilihat dari pengertian cukai, cukai
adalah suatu pajak yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu (selective). Tujuan pemungutan cukai
lebih menitikberatkan pada fungsi pengaturan (regulerend).
Fungsi ini lebih ditujukan untuk mengatur peredaran barang-barang khusus
yang secara umum memiliki dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Agar tidak
menimbulkan keresahan maupun kerugian yang besar, pemerintah diperbolehkan
mengatur keberadaan barang-barang khusus tersebut.
Cnossen (2005) menjelaskan beberapa sasaran utama dalam
pengenaan cukai oleh pemerintah, antara lain adalah untuk meningkatkan
pendapatan negara dalam rangka mendukung program-progam umum pemerintah,
sebagai cerminan dari biaya eksternalitas, untuk membatasi konsumsi terhadap
produk-produk tetentu dan sebagai bentuk kompensasi publik atas pelayanan yang
disediakan pemerintah. Pungutan cukai digunakan
sebagai salah satu instrumen fiskal yang dapat memberikan tambahan pendapatan
bagi negara, akan tetapi akan dapat membebani pihak-pihak yang menggunakan
produk yang berpotensi menimbulkan dampak negatif.
Pengenaan cukai berdasarkan kadar alkoholnya dibedakan
menjadi golongan A,B dan C. Semakin tinggi alkohol yang terkandung didalamnya,
maka cukai yang dikenakan akan semakin besar, hal ini dilihat dari
eksternalitas negatif yang ditimbulkannya. Berdasarkan daftar tarif cukai
diatur dalam PMK No.62/PMK.011/2010 yaitu tarif cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol dengan kadar
alkohol 0%-5% atau golongan A untuk dalam dan luar negeri Rp 11 ribu. Tarif
golongan B per liter kadar alkohol 5%-20%, untuk dalam negeri Rp 30 ribu,
sedangkan impor Rp 40 ribu. Sementara tarif golongan C per liter kadar alkohol
lebih dari 20%, dalam negeri Rp 75 ribu dan impor Rp 130 ribu.
Hal ini menarik untuk dikaji kembali terkait
sejauh mana dampak bisnis miras bagi perbaikan perekonomian. Padahal sebelumnya
Jokowi dalam sebuah kongres umat islam Indonesia tepatnya di bulan Februari
2015 telah berkomitmen menyatakan tidak apa-apa kita kehilangan sekian triliun daripada
kerugian negara yang ditanggung jika peredaran miras semakin bebas. Selain itu,
Indonesia juga dikenal dengan populasi muslim terbesar di dunia yang dengan tegas
mengharamkan miras tentu akan semakin miris jika miras dijual bebas. Lebih
lanjut, miras identik dengan budaya barat dan bertolak belakang dengan budaya
bangsa Indonesia.
Faktor kesehatan sangat jelas juga
bertentangan karena dapat merusak tubuh. Minuman
keras termasuk barang konsumtif yang akan habis dalam sekali pakai yang
memiliki banyak sisi negatif yang ditimbulkan ketika sering mengonsumsinya
karena minuman ini dapat memabukkan dan menghilangkan akal
manusia, sehingga rawan menjadi sumber kejahatan. Alkohol selama ini menjadi salah satu faktor
utama penyebab beberapa tindak kriminalitas karena pengaruhnya yang dapat menurunkan
tingkat kesadaran. Sudah hal yang umum miras terkenal menjadi penyebab tindak
kejahatan akibat hilangnya kesadaran, seperti pemerkosaan, pembunuhan,
kecelakaan, kekerasan, dan sebagainya. Tentu sudah terhitung lagi banyaknya
efek negatif yang ditimbulkan, kita masih ingat kasus yang lalu terkait tragedi
kecelakaan di tugu tani yang menewaskan banyak orang dan mendapatkan banyak
kecaman keras oleh masyarakat yang diakibatkan oleh efek miras. Seharusnya
peristiwa tersebut dijadikan momentum untuk membatasi peredaran miras, bukan
malah melonggarkannya.
Alkohol merupakan
depresan yang menekan kinerja sistem syaraf pusat. Konsumsi alkohol akan
berpengaruh terhadap meningkatnya aktivitas asam gamma aminobutyric (gaba) dan
melemahkan glutamin yang menyebabkan koordinasi tubuh menjadi lumpuh. Hasil
riset terbaru WHO menunjukkan konsumsi diatas 15 liter alkohol murni per tahun,
memicu munculnya lebih dari 200 penyakit kronis, diantaranya kanker dan sirosis
hati. Setiap tahunnya lebih dari 3,3 juta orang meninggal sebagai dampak
konsumsi minuman beralkohol berlebihan. Angka tersebut bahkan lebih tinggi
daripada kematian yang disebabkan penyakit AIDS, TBC, atau kejahatan kekerasan
lainnya. Berbagai negara lain di dunia
telah melakukan sistem pengenaan cukai di negara-negara lain dengan melihat
produk yang mempertimbangkan dampak kesehatan dan lingkungan.
Jika kita berkaca pada peraturan
sebelumnya itu bukan tanpa alasan akibat aturan hambatan bisnis miras. Industri
bisnis miras bukan dimatikan, melainkan hanya diarahkan lebih selektif dalam
penjualannya guna lebih menjaga generasi muda Indonesia. Memang bisnis ini bisa
dibilang memberikan sumbangan cukai miras sekitar Rp 6 triliun. Sejauh mana
arti dari Rp 6 triliun jika hanya membawa kekhawatiran ancaman rusaknya
generasi muda dan belum tentu meningkatkan perekonomian. Seharusnya kita
berpikir logis jika dihadapkan dengan pentingnya mengedepankan harapan masa
depan generasi Indonesia dibandingkan konsumsi miras yang cenderung merusak dan
menurunkan harapan generasi bangsa tersebut. Jangan hanya berambisi mengejar
target kenaikan penerimaan cukai dijadikan dalih perbaikan perekonomian yang
belum tentu berdampak signifikan bagi perekonomian.
Sebenarnya pebisnis miras tidak perlu
khawatir berlebihan jika aturan diperktetat kembali. Meskipun omzet dapat
berkurang, sebaiknya mereka lebih memikirkan kepentingan bangsa dan jikalau
ingin mengejar omzet juga masih bisa dioptimalkan, hanya saja arahnya lebih
selektif lagi dalam penjualannya. Misalnya, hanya jual di cafe, hotel, dan lainnya karena secara
umum miras banyak terjual disana. Dari sisi pajak, pemerintah juga justru akan
mendapatkan pajak pertamnahan nilai (PPn) hingga 10% dan service charge 11% dibandingkan pembelian di minimarket yang tidak
terdapat perolehan pajak. Ketakutan penurunan omzet juga bisa disiasati dengan
memperlebar pasar dan menggenjot ekspor.
Pelaku bisnis miras juga perlu
dipertanyakan jika sebelumnya mereka ngotot untuk meminta pelonggaran miras
mengapa mereka bersikeras jual di minimarket yang banyak tersebar hingga
pemukiman-pemukiman dan cenderung dikunjungi oleh segala usia, termasuk orang
tua yang khawatir kepada anak-anak yang rawan terkena dampak buruk tersebut
jika mengonsumsinya. Apa mereka juga mau jika kriminalitas terus meningkat dan
kesehatan menurun akibat tingginya konsumsi miras. Padahal penjualan miras jika
bisa dikontrol, maka kriminalitas juga akan tertekan. Orang yang cenderung
mengonsumsi miras ditempatkan umum menyebabkan keresahan dan kekhawatiran oleh
masyarkat. Berbeda jika konsumsinya ditempat yang semestinya cenderung tidak
terlalu berdampak buruk kepada sekitarnya. Para turis atau masyarakat yang
mengonsumsi di hotel atau café jarang yang berbuat onar, tetapi yang
mengonsumsi disembarang tempat atau tempat umum bisa dipastikan rawan berdampak
buruk.
Kekhawatiran penurunan omzet dari
perolehan daerah wisata terkait mengonsumsi miras tidak perlu menilai secara berlebihan
karena pasar di daerah wisata yang terdapat banyak turis cenderung tidak
terpengaruh. Tidak ada salahnya jika miras lebih diarahkan ke kebutuhan turis
asing karena sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Artinya, pengaruh seberapa mahal
harganya permintaan masyarakat akan tetap membelinya dan pendapatan bagi
pebisnis miras akan tetap ada. Padahal jika mau meningkatkan kunjungan wisata
salah satunya ialah pentingnya upaya promosi, seperti layaknya gencarnya
promosi negara lainnya.
Sikap pro Ahok selaku Gubernur Dki
Jakarta turut mengundang keprihatinan. Seperti yang dilansir sebuah situs (Slsr.in,
2015), alasan dibalik getolnya setuju aturan Ahok terkait aturan pelonggaran
miras ternyata pemda Dki Jakarta memiliki porsi saham di bidang bisnis miras
yang cukup besar hingga 25% di PT Delta Djakarta, Tbk yang menjadi produsen dan
memproduksinya. Keprihatinan inipun lagi-lagi muncul, yang seharusnya pemda
menginvestasikan dananya di bidang produktif lainnya ternyata malah di
investasikan ke bisnis miras.
Pengembangan generasi muda harus
diutamakan dan salah satu penyebab terbesar yang merusak generasi ini ialah
miras. Harga miras di Indonesia bisa dibilang sangat murah dan terjangkau,
sehingga aksesnya sangat mudah untuk dijangkau anak-anak. Padahal di negara
lain (negara tetangga) menerapkan kebijakan yang ketat dengan penerapan harga
yang mahal agar tidak mudah diakses sembarangan dan tentu jika anak-anak atau
pemuda akan berpikir ulang untuk membelinya.
Jika pariwisata juga dijadikan sebagai
alasan, maka perlu dipertanyakan kembali mengingat tujuan utama datangnya turis
ke suatu tempat wisata ialah menikmati pariwisatanya. Melainkan bukan datang
untuk minum alkokhol yang utama yang dijadikan tujuan atau alasan utama.
Jikalau mereka memang datang untuk miras, maka mereka bisa mendatangi tempat
yang berjualan resmi atau lokasi wisata yang diperbolehkan pemerintah. Lihat
saja, negara tetangga Singapura dan Malaysia yang aturan mirasnya jauh lebih
ketat saja mampu mendatangan turis yang jauh lebih besar daripada Indonesia.
Hal ini menunjukkan alasan wisata ini tidak bisa dijadikan dalih untuk bebasnya
peredaran miras di Indonesia. Oleh karena itu, menjaga kepentingan generasi
muda yang nanti menjadi harapan bangsa harus di utamakan daripada hanya sekedar
mengonsumsi miras yang kurang sesuai dengan moralitas dan budaya Indonesia
Boleh saja bisnis miras tetap dijual,
tetapi kalu bisa akses peredarannya dipersulit dan diperketat. Apakah pemerintah dapat menjamin pengawasan
peredaran miras dan dampak lainnya? Padahal pelanggaran penjualan miras
kerapkali dilanggar oleh penjual akibat sangat lemahnya pengawasan miras
diberbagai daerah. Jika peredaran semakin marak dan mudah ditemukan, akan mendorong
orang yang awalnya tidak ingin membeli akan terdorong untuk membelinya.
Kondisi ini kian memicu keprihatinan
ditengah lemahnya pengawasan ini sudah menjadi hal umum bagi penjual miras.
Penyebabnya tidak hanya karena dapat menambah pendapatan toko, tetapi juga
ketakutan ancaman tokonya dirusak jika tidak melayani pembeli. Semakin maraknya
peredaran miras akan semakin rawan berbagai pelanggaran terjadi, misalnya
penjualan kepada anak-anak.
Pemerintah sebaiknya meninjau ulang
aturan pelonggaran bisnis miras. Bukan tanpa alasan, jika kepentingan bisnis
miras ini besar tetapi sebaiknya kepentingan lebih besar diarahkan ke hal yang
lebih baik. Jika alasan besarnya perolehan cukai miras selama ini dijadikan
dalih utama untuk ambisi kejar target cukai, tentu kurang pantas dan masih
banyak sumber alternatif lain yang lebih layak dan bijak untuk dikembangkan.
Upaya perbaikan ekonomi melalui
kebijakan pelonggaran miras ini dinilai kurang tepat atau efektif. Pemerintah harus mengkaji lebih dalam kebijakan dengan
mengaitkan segala aspek dan implikasi terhadap proses awal dan akhir (forward dan backward linkages). Sebaiknya pemerintah
lebih terfokus pada upaya alternatif lainnya yang dapat berdampak signifikan
dan tidak hanya dinikmati segelintir orang saja serta agar tidak menjadi bumerang
yang dapat merusak generasi harapan bangsa. Hal ini juga rawan menimbulkan
kecurigaan dari produsen yang memanfaatkan situasi pelemahan ekonomi saat ini.
Sudah banyak permasalahan di negeri ini
yang perlu mendapat perhatian serius daripada mementingkan miras yang jauh dari
manfaat dan dampaknya bagi perbaikan perekonomian. Sebaiknya pemerintah perlu
mengkaji ulang aturan ini, jangan hanya karena alasan dalih ekonomi dijadikan
pemerintah untuk lebih memihak pebisnis miras dan tidak berkaca pada dampak
sekitar. Pemerintah daerah juga dikhawatirkan semakin leluasa memperbolehkan
peredaran miras akibat besarnya wewenang saat ini yang diperoleh. Sebelumnya
miras dibatasi peredarannya, tetapi saat ini justru diserahkan secara leluasa
ke pemerintah daerah masing-masing.
Dari segi perbaikan ekonomi juga dapat
dikatakan dampaknya tidak terlalu signifikan maupun menggangu ekonomi. Daya saing industri diperkirakan belum berdampak signifikan bagi perbaikan
ekonomi, daya saing industri, dan daya beli masyarakat karena aturan penjualan
miras masih boleh dijual di
supermarket, bar, restoran, hotel dan di lokasi wisata. Minuman mengandung Etil
Alkohol hanya berkontribusi 4%-5% dari total penerimaan pendapatan atau tidak
sebesar pendapatan cukai rokok. Hal ini tercermin dari komposisi Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) di
penerimaan bea cukai yang tetap di kisaran angka itu meski tahun 2010 cukai MMEA sudah dinaikkan sekian kalinya. Berdasarkan data, tarif jenis Etil Alkohol (EA) per
liter untuk semua jenis golongan dalam negeri dan luar negeri Rp 20 ribu.
Konsentrat mengandung EA Tarif per liter semua golongan, dalam negeri maupun
impor Rp 100.000,00. Sangat jelas bahwa perolehan
cukai saat ini masih sangat bergantung pada rokok dan alkohol, dengan
persentase sekitar 95 persen dari total perolehan cukai di Indonesia. Guna
mempertahankan dan meningkatan penerimaan negara melalui cukai, bisa dengan
cara menaikkan cukai rokok dan miras mengingat jika dibandingkan dengan negara
Singapura bahwa tarif cukai Indonesia jauh lebih murah.
Masih banyak alternatif lain yang bisa
dioptimalkan untuk mengejar target cukai selain cukai miras. Lebih dari itu,
kemendag sebaiknya lebih fokus penindakan pelanggaran yang seringkali dilakukan
oleh tempat-tempat yang berjualan miras yang tidak menanyakan identitas dalam
penjualan mirasnya yang berhak boleh membelinya. Demikian juga, pemerintah
lebih baik fokus membuat aturan yang mendorong porsi jatah ketersediaan
peningkatan produk lokal di minimarket-minimarket. Jadi, dapat dikatakan bahwa
relaksasi aturan bisnis miras tersebut tidak berdampak signifikan terhadap
perekonomian ditengah kondisi pelemahan ekonomi yang sekarang ini terjadi.
Penulis:
Mahfud Effendi & Dr. Anggawira (Ketua BPP HIPMI Bidang Kaderisasi)
Sumber Gambar:
http://goo.gl/jKydfa
Sumber Gambar:
http://goo.gl/jKydfa
0 komentar:
Posting Komentar
Yuk, sampaikan komentarmu, Bebas Berkomentar Kok Asalkan TIDAK SARA !